Kematian adalah keniscayaan yang tidak terelakkan. Ia merupakan drama penuh misteri dan seketika yang dapat mengubah jalan hidup seseorang. Karena begitu misterius dan menakutkannya kematian, tidak sedikit umat manusia merasa perlu menambah masa hidupnya, seperti yang terangkum dalam pernyataan Chairil Anwar itu.
Menbahas kematian bisa menimbulkan sebuah ‘pemberontakan’ yang menyimpan kepediahan pada jiwa manusia, yaitu kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba dan musnahlah semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup ini. Kesadaran itu memunculkan penolakan bahwa kita tidak ingin (cepat) mati.
Pada buku Psikologi Kematian karya Komaruddin Hidayat yang secara khusus berbicara tentang kematian, dalam pengantarnya M. Quraish Shihab menggaris-bawahi yang terpenting dalam menghadapinya adalah kita menjemput maut dengan hati yang damai.
Keengganan manusia untuk menjemput kematiannya disebabkan, setidaknya dua hal. Pertama, manusia terlanjur dimanjakan dengan aneka kenikmatan duniawi yang telah dipeluknya erat-erat. Kedua, sifat kematian yang misterius. Kematian ditakuti karena manusia tidak tahu persis apa yang akan terjadi setelah kematian itu.
Kematian dengan demikian menjadi misteri kehidupan yang mendebarkan, bahkan menakutkan. Bagi kaum eksistensialis, kematian adalah suatu derita dan musuh bebuyutan yang terlalu tangguh untuk dikalahkan. Prestasi akal budi manusia yang telah melahirkan peradaban iptek supercanggih tetap tidak akan pernah mampu menelusuri jejak malaikat maut. Anehnya, tidak sedikit manusia justru merasa enggan mati dan berusaha ekstra memperpanjang sisa hidupnya.
Keengganan dan ‘pemberontakan’ umat manusia atas kematian telah melahirkan dua mazhab psikologi kematian. Pertama, mazhab religius, yaitu mereka yang menjadikan agama sebagai rujukan bahwa keabadian setelah kematian itu betul-betul ada dan untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi, orang religius menjadikan kehidupan akhirat/akherat sebagai target tertinggi.
Kedua, mazhab sekuler yang tidak peduli dan tidak yakin adanya kehidupan setelah kematian. Kelompok itu dibedakan dua. Pertama, meskipun mereka tidak peduli kehidupan akhirat, kelompok ini berusaha mengukir namanya dalam lintasan sejarah. Kedua, mereka yang memang pemujahidup hedonistis yang sama sekali tidak peduli dengan pengadilan dan penilaian sejarah.
Dalam pandangan Komaruddin Hidayat, keyakinan dan ke-tidak-yakinan manusia bahwa setiap saat kita dijemput kematian/maut memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seseorang. Begitu pula dengan keyakinan adanya kehidupan setelah kematian. Dengan harapan memperoleh kebahagiaan di akhirat, misalnya, maka raja-raja Mesir membangun Piramida dengan pucuknya runcing dan menjulang ke langit agar memudahkan perjalanan arwahnya menuju surga.
Frank J. Tipler dalam bukunya The Physics of Immortality (1994) menyarankan manusia agar selalu berbuat baik demi kesuksesan dunia akhirat. Kebaikan membuat kita tersenyum ketika malaikat maut menjemput meskipun keluarga yang akan kita tinggalkan menangis.
:: Hai orang-orang yg beriman, bertakwalah kepada Allah dg sebenar-benar takwa, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam :: (QS Ali 'Imran: 102).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar