25.12.08

Izinkan Aku Memilih Islam

Sebelum aku memulai cerita aku ini, izinkanlah aku untuk memohon maaf apabila ada pihak-pihak yang tidak berkenan dengan cerita aku ini, terutama keluargaku. Untuk itu nama-nama orang dan tempat tidak akan aku sebutkan.

Aku ucapkan terimakasih untuk Retno (bukan nama sebenarnya) dari Univ. T. di kotaku yang mau menuliskan kisah sejati aku ini. Semoga kisah sejati aku ini menjadi inspirasi buat orang yang membacanya atau mengalami hal yang sama.

Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah pada kita semua.

Aku, panggil saja “Mawar”, berusia 30an tahun, dilahirkan di sebuah pulau di seberang pulau Jawa, di kota P. Aku lahir sebagai anak terakhir dari 4 bersaudara. Kakakku yg pertama dan kedua laki-laki, sedangkan yang ketiga perempuan. Kami berasal dari keluarga keturunan dan kami merupakan generasi ke 4 yang sudah menetap di negeri ini. Kakek buyut kami merupakan pendatang dari negeri jauh dari seberang di awal abad 20. Keluarga kami memulai bisnis benar-benar dari bawah. Menurut cerita orang tua kami, dulu kakek buyut kami hanya berjualan dengan pikulan bahan-bahan kebutuhan pokok seperti gula, garam, beras dll. keluar masuk kampung.

Usahanya baru berkembang dengan pesat setelah pada tahun-tahun awal setelah kemerdekaan, pemerintah pada waktu itu mulai menggalakkan usaha yang dilakukan oleh bangsa sendiri/pribumi. Waktu itu dikenal istilah AliBaba.

Ali untuk pangggilan pribumi, sedangkan Baba untuk warga keturunan seperti kami. Waktu itu pengusaha pribumi asli diberikan kemudahan perizinan usaha, bahkan mengimport dari negara-negara lain, tapi umumnya mereka tidak punya banyak modal. Waktu itu banyak warga keturunan yang mempunyai banyak modal kemudian membeli ijin usaha yang diperoleh para pribumi tersebut, sehingga mereka secara mudah melakukan export import dengan negeri-negeri tetangga (Singapura, Malaysia, Hongkong, dll) yang pada waktu itu memang juga dikuasai olah warga dari etnis kami.

Singkat cerita, bisnis keluarga kami benar-benar menjadi semakin besar dan merambah ke segala bidang, mulai dari pertambangan, tambang emas, property, perkebunan, dll. Boleh dibilang kekayaan keluarga kami sudah diatas rata-rata dari orang kaya di negeri ini, above than ordinary rich.

Harta kekayaan kami yang amat melimpah itu sampai-sampai membuat orang tua kami kadangkala risau seandainya kami sekeluarga (tiba-tiba) meninggal sehingga tidak ada yang mengurus harta yang sedemikian banyaknya itu. Untuk itu kami sekeluarga tidak pernah melakukan perjalanan dengan pesawat secara bersama-sama. Andai kami sekeluarga akan melakukan liburan pada saat dan tempat yang sama, maka biasanya kami dibagi menjadi 2 atau 3 penerbangan, papa dan mama satu pesawat, dan kami sisanya juga dibagi 2 penerbangan yang lain. Sehingga apabila terjadi sesuatu musibah, maka akan tetap ada bagian keluarga kami yang masih selamat, dan tetap bisa mengurus bisnis dan kekayaan kami. Aku sengaja cerita panjang lebar tentang latar belakang keluarga kami, sebab ini akan berhubungan sekali secara emosi dengan kisah aku selanjutnya.

Papa kami lahir dan dibesarkan di pulau ini, selepas sekolah menengah atas beliau melanjutkan sekolah bisnis di negeri H, sehingga begitu kembali ke negeri ini, beliau manjadi business man yang amat handal, dan mempunyai banyak teman-teman bisnis di berbagai negara. Papa sebenarnya orang yang rendah hati, pendiam, bicaranya terukur dan seperlunya, jarang marah pada anak-anaknya. Sedangkan mama, sebenarnya berasal dari pulau lain, dia dulu pernah bekerja pada perusahaan kakek kami (orang tua dari papa), sebelum akhirnya bertemu papa dan menikah. Mama orangnya keras, pintar, lincah, banyak pergaulan, sehingga kadang kami berpikir, papa seperti takluk pada mama. Banyak kebijakan perusahaan yang berasal dari ide mama, dan memang selalu sukses. Papa dan mama memang pasangan yang serasi, saling mengisi kekurangan.

Masa kecil aku lalui dengan penuh kebahagiaan, dan sejak SD sampai SMA aku disekolahkan disebuah sekolah swasta terkemuka di kota kami, yang siswanya banyak berasal dari anak-anak pejabat, bupati, gubernur, dll. Aku berbaur dengan siapapun tanpa memandang golongan, agama dan ras. Kadang aku diundang untuk mampir bermain ke rumah mereka (anak bupati, gubernur) sepulang sekolah, sehingga aku mengenal lebih dekat dengan keluarga mereka. Ini pula yang kelak bermanfaat buat perusahaan keluarga aku.

Di sekolah kami, ada pelajaran agama untuk tiap-tiap pemeluknya. Pada saat itu setiap ada jadwal pelajaran agama tertentu, maka bagi pemeluk agama yang lain diperbolehkan keluar kelas, tapi boleh juga tetap tinggal di kelas apabila memang menghendaki. Jadi misalnya hari ini giliran pelajaran agama Islam, maka murid-murid non muslim diperbolehkan meninggalkan kelas, begitupula sebaliknya apabila ada pelajaran agama lain. Tapi aku sendiri sering tetap tinggal di kelas mendengarkan apa yang diajarkan ibu guru agama Islam di kelas kami.

Entah kenapa aku yang sejak lahir dididik secara non muslim, bahkan tiap minggu aku beribadah di tempat ibadah kami, merasa tertarik dengan ajaran agama Islam. Aku sendiri tak tahu datangnya dari mana. Semacam ada panggilan dari hati aku yang paling dalam, tapi saat itu aku pikir mungkin itu hanya rasa keingin-tahuan semata, bukan mendalami secara jauh dan mendalam. Tiap mendengar azan, entah kenapa hati aku selalu bergetar. Dirumah kami yang besar, kadang hanya aku seorang diri, orang tua kami selalu sibuk di Jakarta sehingga hanya beberapa hari di rumah dalam sebulan. Kakak-kakak aku ada yang sudah kuliah di luar negeri, sehingga rumah yang mempunyai 6 kamar yang besar-besar - yang seharusnya cukup untuk menampung 20 orang - hanya dihuni oleh aku sendiri. Pembantu, sopir, satpam, tinggal di paviliun khusus untuk mereka yang terletak terpisah dengan rumah induk. Dalam kesunyian itu hati aku merasa sejuk setiap mendengar ayat suci Al Quran yang kadang tak sengaja aku dengarkan di TV.

Kembali ke pelajaran agama di kelas. Entah mengapa aku makin tertarik untuk mendalami ajaran agama Islam setiap ada pelajaran agama di kelas. Melihat ibu guru yang mengenakan kerudung, dengan wajah yang bersih, bersinar, hati aku terasa sejuk. Dengan melihat wajah ibu guru itu saja aku sudah merasa damai. Tanpa aku sadari kadang aku mencatat apa yang ibu guru itu ajarkan, bahkan aku mulai hapal diluar kepala ayat-ayat yang pendek-pendek. Itu semua benar-benar terjadi begitu saja, tanpa aku sadari dan tanpa bisa dicegah oleh diri aku sendiri. Pernah ibu guru tersebut menghampiri aku, yang tak sengaja secara reflex mencatat pelajaran tetang haji yang dia tulis di papan tulis. Beliau tahu aku non muslim, dan menghampiri tempat duduk ku, jantung ku berdebar keras membayangkan kemungkinan aku diusir dari kelas.

Tetapi… ternyata beliau dengan senyumnya yang ramah melihat catatan yang aku tulis, sambil berkata, “Insya Allah kelak suatu saat Mawar bersama dengan ibu melaksanakan ibadah Haji ya...”. Sejak saat itu hubunganku dengan Ibu guru (sebut saja ibu guru Aisyah) semakin akrab, aku hampir tidak sabar menunggu datangnya hari pelajaran ibu Aisyah. Hubunganku dengan beliau bagai anak dan ibu. Tetapi saat itu aku juga tetap mengikuti pelajaran agama yang saat itu masih aku anut, walau lebih banyak melamun, bahkan tidak mencatat sama sekali apa yg diajarkan.

Sebagai gadis remaja, tinggiku sekitar 160cm, tentu sedang mekar-mekarnya dan giat-giatnya mencari pacar. Teman-temanku banyak yang mengatakan kalau tubuhku indah, proporsional, berwajah oriental, bakalan banyak menarik perhatian laki-laki. Plus dengan latar belakang keluargaku yang amat berkecukupan, makin banyak laki-laki yang tergila-gila padaku. Entah kenapa saat itu aku tidak tertarik dengan laki-laki yang berasal dari etnisku. Tiap hari jum’at melihat siswa-siswa pria melakukan ibadah shalat jum’at, hatiku langsung bergetar, membayangkan andai salah seorang dari mereka adalah pacarku, dengan wajah bersih bersinar dan masih basah tetesan air wudhu, berjalan ke masjid di seberang sekolah, ah… alangkan indahnya membayangkan wajah-wajah tersebut.

Tapi saat itu aku tahu diri, aku yang berasal dari etnis keturunan, apakah ada laki-laki pribumi yang mau menjadikan aku pacarnya. Aku tahu masih banyak dari mereka yang membedakan ras, dan berpacaran dengan ras kami masih dianggap memalukan, bahkan bisa jadi ejekan dan gunjingan di lingkungan keluarganya. Aku pernah berpacaran dengan anak bupati di kota ku, tapi kemudian dia memutuskan hubungan kami, dikarenakan ayahnya akan mencalonkan diri menjadi Gubernur, dan dia tidak mau ada anggota keluarganya yang bisa menghambat pencalonan tersebut. Misalnya anaknya dengan berpacaran dengan ras lain (??). Walau alasan itu amat sangat mengada-ada tapi aku terima dengan lapang dada. Memang aku sudah menyadari akan ada penolakan, karena aku berasal dari etnis non pribumi. Aku tahu orang tuanya tentu tak merestui anaknya berhubungan terlalu jauh dengan orang yang bukan dari ras mereka, dan berlainan agama.

Walau begitu hatiku sudah bulat untuk kelak memiliki pasangan hidup seorang pribumi, dan aku bahkan bersedia memeluk Islam sebagai agamaku. Kelak keputusan hidupku ini akan menjadi perjalanan panjang dan penuh cobaan dalam hidupku.

Selepas SMA aku melanjutkan study ke Ausie lalu ke negeri paman sam, mengikuti kakak-kakak ku yang sudah berada disana. Tak banyak yang perlu aku ceritakan dengan masa-masa studiku disana. Hampir 5 tahun kemudian aku kembali ke tanah air, dengan gelar master di tangan dan aku mengabdi ke perusahaan keluargaku untuk membesarkan bisnis mereka. Dalam waktu singkat perusahaan kami memperoleh profit yang amat meningkat, dan terus membesar, serta mulai merambah ke banyak sektor bisnis.

Aku banyak memiliki akses ke para petinggi di daerahku karena semasa sekolahku dulu aku sudah mengenal beberapa keluarga mereka. Semua urusan perijinan yang menyangkut perusahaanku, bisa aku selesaikan dengan mudah. Aku masih tetap melajang di pertengahan usia 20an tahun. Banyak pria-pria yang berusaha menarik perhatianku, dari pengusaha-pengusaha muda yang sukses bahkan sampai pemilik perusahaan-perusahaan besar. Tapi hatiku tak bergetar sama sekali. Aku belum menemukan seseorang yang benar-benar menjadi soulmate ku. Sekedar mencari suami amatlah mudah bagiku, ibarat hanya menjentikkan jari maka puluhan pria akan mendatangiku. Tapi aku benar-benar mencari seorang soulmate, belahan jiwa sejati untuk mendampingiku.

Sampai suatu ketika perusahaan kami memperoleh karyawan baru dari kantor cabang kami di pulau Jawa. Orangnya 3 tahun lebih tua dariku, wajahnya bersih, dia berasal dari etnis pribumi Jawa. Tutur katanya lemah lembut, sopan, tubuhnya tinggi, proporsional, dan ah… ini dia... dia seorang muslim yang shaleh. Sejak kedatangan dia di kantor kami, para wanita nggak habis-habisnya membicarakan tentang dia, dan berlomba bisa mendapatkan dia. Menurut laporan kantor kami, dia amat rajin, jujur dan berprestasi di kantor yang lama, sehingga dia dipromosikan ke pekerjaan yang lebih tinggi dan menantang di kantor kami ini. Kebetulan pekerjaan yang akan dia kerjakan akan menjadi satu divisi denganku. Sehingga aku akan banyak berhubungan dengan dia.

Mula-mula di bulan-bulan pertama aku masih bersikap ‘Jaim’ jaga image, karena aku ini anak dari pemilik perusahaan ini. Tapi lama-lama hatiku nggak bisa berbohong, sedikit tapi pasti, hatiku luluh juga… aku mulai jatuh cinta. Pernah suatu ketika sehabis mengunjungi kantor gubernur, aku satu mobil dengan dia. Di tengah jalan dia minta ijin padaku untuk berhenti sebentar di masjid raya di kota ku untuk shalat ashar. Dari dalam mobil, aku perhatikan bagaimana dia berwudhu, lalu melangkah masuk ke masjid dan melakukan ibadah….ahhh.. andai aku kelak bisa mengikuti di belakang…

Awal-awalnya aku memanggil dia dengan sebutan formal di kantor ‘Pak’ dan dia juga memanggilku ‘Ibu’. Tapi lama kelamaan secara tak sengaja aku mulai memanggil dia ‘mas’, karena aku sering lihat keluarga Jawa memanggil orang yang lebih tua, suami, kakak, dengan sebutan mas. Mulanya dia agak rikuh tiap aku panggil demikian, tapi lama kelamaan mulai terbiasa. Tapi itu hanya aku lakukan apabila hanya sedang berdua dengan dia, tidak di depan orang-orang kantor. Akupun mulai meminta dia memanggilku ‘Dik’, aku merasa risih tiap kali dia panggil aku ‘Ibu Mawar’. Seiring dengan waktu, sesuai pepatah Jawa “witing tresno jalaran soko kulino”, cinta akan tumbuh karena terbiasa selalu bersama-sama.

Bisa dibayangkan bagaimana awal kisah cinta kami. Di dalam mobil yang disupiri oleh supirku, kami sama-sama duduk di belakang. Awalnya kami hanya membicarakan dan membahas berkas-berkas pekerjaan, kadang secara tak sengaja tangan kami saling bersentuhan. Dan dia secara sopan segera menarik, dan minta maaf. Ah… sebel rasanya. padahal akulah yang menginginkannya. Tapi itu tak berlangsung lama, pada akhirnya dia takluk juga, kadang aku biarkan tangan dia memegang berkas, lalu aku pura-pura membahasnya sambil tanganku menyentuh jari dan tangannya. Kadang aku genggam jarinya, dan lama kelamaan dia memberikan response. Dia juga menggenggam tanganku… ahh.

Kadang kalau mobil kami sudah mau sampai tujuan, aku pura-pura minta supirku untuk kembali ke tempat lain, aku pura-pura ada yang tertinggal.. padahal aku hanya ingin berlama-lama dengan dia (sebut saja mas Fariz) di mobil. Pernah suatu ketika aku pura-pura ada yang tertinggal dan suruh supirku membawa kami berdua ke rumahku. Begitu mobil kami memasuki halaman rumahku yang besar, wajahnya tampak pucat pasi. Dia tampak ketakutan dan gugup. Dia bilang nanti kalau papaku (alias big boss dia) akan marah kalau melihat dia jam kerja begini malah mampir kerumah dia. Aku bilang tak perlu takut, bukankah aku anaknya big boss, yang membawa dia kesini.

Hampir setahun sudah dia bekerja bersama denganku, dan hubungan kami sudah makin erat, tapi dia belum menyatakan cintanya padaku. Mungkin dia takut aku akan menolaknya, apalagi keyakinan kami pada saat itu masih berlainan. Hingga suatu ketika dia menelponku, dan mengajak bertemu di suatu restoran di luar kota, dia memintaku datang tanpa sopir. Dia tidak mau ada orang kantor yang melihat kami berdua. Di restoran itu dia menyatakan cintanya padaku… langsung saat itu juga aku terima. Dan aku katakan pada dia, kalau aku merasa mas Fariz adalah soulmate ku. Aku akan bersedia memeluk Islam mengikuti agama yang dia anut. Aku juga katakan kalau memang aku sudah sejak lama tertarik dengan agama Islam, jadi mas Fariz semoga bisa menjadi pembimbingku. Aku bisa melihat air mata dia meleleh dari kedua matanya. Seumur hidupku baru kali ini aku melihat seorang laki-laki berlinangan air mata karena aku, tak terasa akupun tak kuasa menahan airmataku meleleh dipipiku. Aku yakin aku sudah mendapatkan ‘Soulmate’ ku dan akan aku pertahankan sampai kapanpun dan dengan cara apapun.

Di kantor kami tetap bekerja seperti biasa, seperti tak ada hubungan suatu apapun. Tetapi di luar kantor kami benar-benar sepasang kekasih yang lagi jatuh cinta, dia mulai mengajariku shalat, dan sedikit-sedikit bacaan doa. Dia memang benar-benar lelaki yang taat, dia menjaga kesopananku, tak pernah melebihi batas, walau kadang aku yang menggoda, tapi dia selalu bilang, sabar… tunggu tanggal mainnya. Tapi serapat apapun kami tutupi hubungan kami, akhirnya sedikit demi sedikit bocor juga oleh orang-orang kantor kami. Sampai akhirnya terdengar di telinga papaku.

Suatu hari tiba-tiba papaku datang ke ruanganku, padahal papaku amat sangat jarang datang ke ruang kerjaku. Kalau ada keperluan, biasanya aku yang dipanggil menghadap. Aku lalu diajak bicara berdua dengan beliau. Mula-mula papa tidak menanyakan hubunganku dengan Fariz, tapi sedikit demi sedikit dia mulai mengarahkan pembicaraan ke arah sana. Sampai akhirnya dia menanyakan kebenaran hubunganku dengan Mas Fariz. Aku tak sanggup menjawab, wajahku tertunduk. Papaku terus menatapku, menunggu jawabanku. Aku tak sanggup berbohong, kalau aku bilang tidak, itu bertolak belakang dengan hatiku, sebaliknya kalau aku bilang iya, aku khawatir pekerjaan Mas Fariz akan manjadi taruhannya. Akhirnya aku hanya bisa menangis…

Keesokan harinya, Mas Fariz tidak hadir lagi di kantor. Menurut orang-orang kantor, dia dipindahkan kembali ke pulau Jawa mulai hari ini, dan aku mulai kehilangan kontak dengan dia. Seminggu kemudian dia menelponku, dia cerita panjang lebar bahwa pada hari itu, setelah papa menemuiku, ternyata papa langsung menemui dia, dan keesokan paginya dia sudah harus kembali ke kantor yang lama. Dia juga cerita kalau keadaan makin parah karena nyaris tiap karyawan di kantornya sudah mendengar kabar hubungan dia dengan aku. Dan banyak yang menggunjingkan kalau mas Fariz mengincar harta dan kedudukan, karena berpacaran dengan anak pemilik perusahaan. Dia sampai berulang kali menyebut nama Allah, dan bersumpah kalau dia mencintaiku bukan karena itu semua.

Dua minggu kemudian, dia memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan kami, tapi kami tetap saling berhubungan melalui telepon. Dia berjanji mencoba mencari pekerjaan di perusahaan lain yang punya cabang di kotaku, sehingga bisa bekerja di kotaku dan kembali menemuiku. Tuhan memang sudah berencana, akhirnya 3 bulan kemudian mas Fariz sudah mendapat pekerjaan dan ditempatkan kembali di kotaku walau dengan gaji yang jauh lebih kecil. Dia bilang sekarang sudah bebas berhubungan denganku, dia tidak ada ikatan apa-apa dengan perusahaanku. Tak ada yang bisa melarang. Aku amat terharu, dia korbankan karir pekerjaannya karena aku. Aku berjanji apapun yang terjadi aku tak akan tinggalkan dia.

Sekarang kami bebas berhubungan, tak perduli lagi dengan omongan orang-orang kantor, karena dia toh tak lagi bekerja di perusahaan kami ini. Tapi ternyata papa kembali mengetahui hal ini, dan kali ini malahan mama ikut turun tangan. Aku diceramahi habis-habisan.

Mereka sebenarnya tidak membeda-bedakan ras, mereka tidak berkeberatan aku berhubungan dengan siapapun, tapi mereka mulai curiga kalau aku mulai akan pindah keyakinan. Dan itu mereka kurang bisa menerima. Aku sudah jelaskan baik-baik bahwa aku sudah cukup dewasa dan bisa mengambil keputusan buat hidupku sendiri tanpa tergantung papa dan mama. Ternyata jawabanku yang demikian itu membuat mereka tambah murka dan tersinggung. Mereka katakan bahwa tanpa mereka jalan hidupku tidak akan seperti ini. Banyak orang yang akan rela mati demi merasakan hidup sepertiku. Rumah mewah, supir tersedia tiap saat, mobil mewah ada di garasi, uang melimpah, dihormati kemana saja pergi, dll. Mereka juga katakan, tanpa mereka aku tak akan pernah sanggup memperoleh kehidupan seperti ini. Aku hanya menangis mendengar apa yang mama papaku katakan. Tapi hatiku sudah bulat, apapun yang terjadi aku tak akan meninggalkan Mas Fariz. Cinta pertamaku dan terakhir.

Walau orang tuaku terus menentang, cintaku ke mas Fariz tak pernah surut. Akupun makin giat memperdalam agama Islam. Seringkali aku saat istirahat kantor, aku pergi ke toko buku besar di Mal. Aku baca-baca buku tentang Islam. Pernah aku ajak orang kantor untuk ikut aku ke toko buku tersebut. Dan dia tegur aku, karena dia pikir aku salah memilih bagian rak buku. Dia ingatkan aku kalau aku dibagian rak buku-buku Islam. Aku bilang memang benar, aku mau membaca buku-buku tentang Islam.

Makin hari hubunganku dengan papa mama makin renggang. Padahal aku sudah bicara sebaik mungkin dengan mereka. Kakak-kakakku semuanya juga sudah terprovokasi. Mereka mulai menjauhiku. Kedua kakak laki-lakiku sudah menikah dan menetap di Jakarta menjalankan perusaahan kami disana, sehingga papa dan mama sekarang lebih banyak menetap di kota kami.

Di rumah, perlakuan mereka makin hari makin berubah terhadapku. Aku makin dianggap bukan lagi bagian keluarga mereka. Tiap makan malam, mereka tak lagi mengajakku makan bersama-sama di meja makan. Pembantu di rumah baru disuruh memanggilku untuk makan apabila papa mama dan kakak perempuanku sudah selasai makan, dan makanan yang ada di meja makan, sisa mereka, yang aku makan. Pembantu tidak diperbolehkan menambah makanan. Bayangkan, aku memakan seadanya sisa dari mereka. Andai mereka makan ayam, maka aku hanya tinggal kebagian ceker dan kepalanya saja. Bisa dibayangkan bagaimana sakit hatiku rasanya. Tapi aku tetap bersabar, dan mas Fariz selalu mengingatkan aku untuk tetap berbakti pada orang tua. Padahal kalau aku mau, bisa saja aku pergi ke restoran yang paling mahal di kotaku ini.

Puncak dari semua itu terjadi pada suatu malam.

Kakak perempuanku memang sebenarnya kasihan kepadaku, sehingga kadang dia menyimpan sebagian makanan yang baru dimasak di dapur. Sehingga pada saat mama papa selesai makan, dia diam-diam menghidangkan untukku. Suatu ketika secara tak terduga, papa mamaku kembali ke meja makan, dan mereka memergoki kakakku yang membawa makanan yang dia simpan di dapur untukku. Langsung mamaku merebut piring yang dibawa kakakku, dan melemparkannya ke lantai, sambil menyindir bahwa kakakku tak perlu kasihan padaku, karena aku sanggup hidup tanpa diberi makan dari mama papa dan bisa hidup mandiri tanpa mereka. Ohh… Mereka rupanya sudah amat membenciku. Hancur berkeping-keping hatiku pada saat itu. Aku hanya bisa menangis, tapi aku tak menyesal, dan aku akan terus bertahan dengan pilihan hidupku.

Mas Fariz menyarankan aku untuk bicara baik-baik dengan mama dan papa, mudah-mudahan mereka akan luluh dan mengerti. Suatu malam, aku berkesempatan mendatangi dan berbicara dengan mereka, dan aku secara baik-baik dan sopan, tak lupa meminta maaf apabila aku salah pada mereka. Aku jelaskan baik-baik pada mereka apa yang hatiku rasakan, aku tumpahkan semuanya. Tetapi justru itu membuat mereka tambah murka, mereka juga malah menuduhku telah diguna-guna dan menyarankanku supaya sadar. Ya Allah… Aku sehat wal afiat, Insya Allah saat itu tak ada satupun guna-guna pada diriku. Semua keinginanku adalah murni dari hatiku, panggilan jiwaku, yang tidak bisa lagi aku cegah. Aku jelaskan pada mama dan papa, bahwa aku sudah cukup umur, dan bukan gadis remaja lagi, sehingga apapun keputusanku, aku bisa mempertanggung-jawabkannya. Aku bisa mandiri andai keputusan hidupku itu memang menghendaki demikian. Papa dan mamaku tetap pada pendirian mereka, bahkan mereka menantangku, kalau sanggup hidup mandiri, sekarang juga serahkan seluruh hartaku yang aku punya selama ini, yang aku dapat selama hidup dengan mereka.

Karena tekadku sudah bulat, malam itu pula seluruh kartu kredit, ATM, buku-buku bank, aku serahkan pada mereka. Uang yang aku punya benar-benar hanya tinggal yang ada di dompetku. Aku sepertinya tinggal menunggu waktu saja untuk meninggalkan rumah ini. Keesokan paginya, karena ada suatu keperluan aku ingin membuka lemari besi tempat penyimpanan surat-surat berharga di rumah kami. Tetapi berulang kali aku mencoba, aku tak bisa membukanya. Ternyata nomor kombinasinya sudah diubah oleh mama papaku. Padahal didalamnya ada barang-barang penting pribadiku seperti Ijasah, perhiasan, dll. Aku mencoba menelpon papaku menanyakan hal ini, dan lagi-lagi aku mandapatkan jawaban yang menyedihkan hatiku. Papaku menyindirku, kalau sanggup hidup mandiri, kenapa masih mau membuka lemari besi milik keluarga, pasti ada barang-barang yang mau dijual didalamnya. Aku benar-benar sudah dikucilkan dan mereka benar-benar mencoba menyiksaku dengan cara demikian, sehingga mereka pikir aku akan menyerah, dan akhirnya mengikuti apa yang mereka mau. Aku adukan semua itu ke mas Fariz dan aku katakan kalau aku akan meninggalkan rumah orang tuaku. Dia tak bisa berkata apa-apa. Hanya mengingatkan aku jangan sampai memutus silaturahmi dengan orang tua.

Beberapa hari setelah kejadian itu, aku benar-benar meninggalkan rumah. Aku akan tinggal kost didekat kantorku. Aku berpamitan baik-baik pada mama dan papa ku. Tapi mereka menolehpun tidak. Aku masih punya cukup uang di dompet. Aku bersumpah tak akan meminta uang lagi sepeserpun dari mereka. Aku bertekad membuktikan kata-kataku untuk hidup mandiri tanpa harta siapapun demi mempertahankan keyakinanku. Selama aku bekerja diperusahaan papaku, memang secara formal aku digaji sesuai dengan posisi kerjaku di perusahaan.Tapi disamping itu tiap bulan, tentu diluar formal perusahaan, aku mendapat uang saku dari papaku yang lumayan banyak, hampir 20x lipat dari gaji resmiku. Sehingga penghasilan total sebulan bisa cukup untuk hidup mewah setahun. Bahkan seluruh uang simpananku di bank, sudah mencapai 10 digit. Tentu bukan jumlah sedikit. Bahkan mungkin cukup untuk biaya hidup seumur hidupku tanpa bekerja.

Aku berharap perusahaan papaku masih memberikan gajiku, dan itu aku anggap memang uang hasil kerjaku, bukan pemberian. Tapi diakhir bulan aku tak memperoleh sepeserpun. Aku sudah meminta agar bisa diberikan cash. Ketika aku tanyakan ke bagian pembayaran gaji, ternyata mereka sudah diperintahkan papaku untuk menahan gajiku. Ya Allah, mereka benar-benar melakukan cara apapun agar aku benar-benar menderita dan pada akhirnya menyerah. Saat itu juga aku langsung mengundurkan diri dari perusahaan papaku itu. Aku tinggalkan perusahaan itu selama-selamanya.

Ketika aku adukan hal ini pada mas Fariz, dia amat sangat sedih dan meminta maaf padaku, karena gara-gara dia hidupku jadi menderita. Dia rela andai aku tidak kuat dan merubah keputusan. Aku peluk dia dan aku pastikan keputusanku tak akan berubah, dan aku makin ingin bisa hidup bersama dia. Saat itu hanya dialah sandaran hidupku. Dengan berlinangan air mata, dia sekali lagi menanyakan padaku, apakah aku menyesal dengan keputusanku, dan apakan aku rela bila menjadi muslimah dan menjadi istrinya. Saat itu juga aku cium tangannya dan aku katakan, aku korbankan seluruh kehidupanku hanya untuk bisa hidup bersamanya, dan aku tak akan mundur ataupun menyesalinya, apapun yang terjadi aku akan hadapi dengan ikhlas lahir dan batin.

Singkat cerita, dengan diantar mas Fariz aku mengucapkan 2 kalimah sahadat di sebuah masjid di kota kami, disaksikan imam dan beberapa jemaah masjid tersebut. Akhirnya penantian panjangku tercapai sudah, walau harus mengorbankan kehidupanku. Tapi aku tak pernah menyesali. Mas Fariz lalu mengajakku segera menikah di kota kelahirannya, karena kebetulan perusahaan tempat dia bekerja akan memindahkan dia ke pulau Jawa.

Sebelum menikah, kami berdua mendatangi rumah papa dan mama, kami akan mohon restu baik-baik pada mereka. Tetapi bapak satpam yang berjaga di pintu gerbang mengatakan kalau dia diperintahkan untuk tidak membuka pintu apabila kami berdua datang. Sebenarnya bapak satpam tersebut bersedia membukakan pintu karena dia masih mengenalku. Tapi aku melarangnya, karena khawatir akan mencelakakan pekerjaan dia. Biarlah cukup aku saja yang menderita, aku tak ingin orang lain ikut terkena akibatnya. Aku tinggalkan secarik surat yang isinya memohon doa restu dari mama papa, bahwa aku akan menikah dengan mas Fariz, juga aku katakan kalau aku sudah jadi muslimah. Aku bisa lihat mata bapak satpam itu berkaca-kaca sewaktu aku katakan aku sudah jadi mualaf.

Awalnya keluarga mas Fariz menanyakan ketidakhadiran keluargaku dipernikahan kami. Tapi setelah mas Fariz ceritakan panjang lebar, akhirnya keluarga mau memahami. Kami menikah secara sederhana di kota tempat keluarga mas Fariz bermukim. Keluarganya amat sangat menerimaku dengan hangat, mereka sama sekali tidak mempermasalahkan ras keturunanku. Malah ibu mertuaku amat sayang padaku. Setelah menikah, aku dan mas Fariz menetap di pulau Jawa. Aku amat sangat bahagia, bisa menjadi pendamping hidup dia. Aku merasakan dia bukan sekedar suami, tapi memang benar-benar soulmate hidupku yang aku cari-cari sepanjang hidupku.

Aku hidup di rumah yang sederhana dan hari-hariku aku lalui dengan penuh kebahagiaan, dan aku tak mengeluh sedikitpun dengan yang mas Fariz berikan untukku. Aku tak lagi bekerja, karena aku benar-benar ingin mengabdi pada suamiku, dan disamping itu semua ijasahku masih tersimpan di lemari besi di rumah mama papa, aku tak bisa melamar pekerjaan dimanapun. Aku juga tak mau meminta surat keterangan bekerja di perusahaan papaku. Aku ingin buktikan bisa hidup mandiri dengan suamiku. Mas Fariz amat sangat menyayangiku, tiap pagi sebelum berangkat ke kantor dia memeluku. Tiap hari aku bawakan dia ‘lunch box’ untuk makan siang karena aku tak mau makanan yang masuk ke perutnya berasal dari masakan orang lain. Aku benar-benar posesif, ingin memiliki dan melayani dia secara total. Setiap hari aku bangun sebelum dia bangun, dan aku baru tidur setelah dia benar-benar tidur, untuk memastikan dia sudah benar-benar tidak perlu aku layani lagi. Aku siapkan celana, baju, kaus kaki dia tiap pagi sebelum berangkat kerja. Sehingga dia tidak perlu lagi memikirkan pakaian apa yang harus dia pakai tiap pagi. Bahkan aku potongkan kukunya bila sudah panjang. Pokoknya dia benar-benar aku jadikan pangeran bagi diriku.

Tiap malam sebelum tidur, kami selalu mengobrol dan saling mengajarkan bahasa. Dia mengajariku bahasa jawa, sedangkan aku mengajari dia bahasa mandarin. Dia amat cepat belajar mandarin, dalam waktu singkat dia sudah menguasai beberapa kata-kata yang umum diucapkan, kadang dia mengajakku bicara mandarin di rumah. Memang perusahaan tempat dia bekerja milik keluarga dari etnis keturunan seperti aku, dan banyak behubungan dengan warga keturunan sehingga bila mampu berbahasa mereka akan merupakan
keuntungan tambahan.

Suatu ketika dia pulang membawa sepeda motor, dia katakan kalau kantornya memberinya pinjaman cicilan motor. Memang hanya sepeda motor, tapi aku sangat bahagia sekali dengan yang dia dapatkan. Berulangkali dia minta maaf tidak bisa belikan aku mobil mewah seperti yang aku pernah aku miliki dulu. Aku katakan pada dia bahwa motor yang sekarang kita miliki bagiku jauh lebih mewah dari mobil yang dulu aku miliki. Karena motor ini bukan sekedar dibeli dengan uang, tapi juga cinta, yang tak akan ternilai berapapun banyaknya uang.

Kehidupan perkawinan kami amat indah, kalau dirumah nyaris kami tak bisa berjauhan. Karena tiap hari bagi kami adalah bulan madu, maka hanya setahun kemudian lahirlah anak pertama (dan satu-satunya) kami. Bayi laki-laki itu kami namai - sebut saja ‘Faisal’. Mas Fariz yang membacakan Azan dan qomat ketika bayi kami lahir. Aku merasa lengkap sudah kebahagiaanku. Tiap hari aku tambah bahagia bisa merasakan ada 2 orang “Fariz” didalam rumahku. Saat mas Fariz ke kantor, aku ditemani Fariz kecil, bayiku. Oh alangkah bahagianya. Aku mencintai 2 orang yang sama darah dagingnya.

Tiga tahun sudah anak kami hadir bersama kami. Mas Fariz terus bercita-cita ingin mendatangi orangtuaku, oma opa si Faisal. Dia benar-benar ingin memperkenalkan cucu mereka dan menyatukan aku dengan papa mamaku lagi. Dia berharap dengan kehadiran Faisal, akan meluluhkan hati orang tuaku. Tapi tiap kali aku menelpon, papa mamaku masih bersikap seperti dulu, bahkan waktu aku katakan bahwa mereka sudah mempunyai cucu dariku, mereka hanya menjawab kalau mereka tidak merasa mempunyai keturunan dariku. Oh. malangnya anakku. Aku amat sedih, teganya papa dan mamaku berkata seperti itu. Aku masih memaklumi apabila mereka membenciku, tapi jangan pada anakku, cucu mereka, darah daging mereka sendiri. Mas Fariz hanya menyuruhku bersabar, dia percaya kelak papa dan mama akan menerima mereka. Tapi sebelum harapan mas Fariz terpenuhi, musibah mulai datang….

Suatu ketika, mas Fariz pulang kerumah lebih awal, dia cuma merasa nggak enak badan seperti orang masuk angin. Aku menyuruhnya segera istirahat dan tidur, dan memberi obat penghilang sakit. Malam harinya, tubuhnya mulai panas dan menggigil. Keesokan paginya aku mengantar dia ke dokter, waktu itu dokter hanya katakan kalau mas Fariz hanya demam biasa sehingga hanya diberi obat penurun panas, dan disuruh istirahat. Tapi malamnya tubuhnya tetap panas, dan menggigil, bahkan sampai mengigau. Aku sudah ajak mas Fariz untuk ke rumah sakit keesokan harinya. Tapi dia menolak, karena dia bilang hanya demam biasa, dan tak apa-apa, beberapa hari pasti sembuh. Sampai hari ke empat kondisinya makin parah, akhirnya sampai tak sadarkan diri, bahkan dari hidungnya keluar darah.

Dengan pertolongan para tetangga, suamiku segera dibawa ke RS. Hasil pemeriksaan darahnya menunjukkan trombositnya hanya tinggal 26 ribu. Padahal orang normal harus diatas 150 ribu. Suamiku terkena demam berdarah. Dokter menyalahkan aku kenapa tidak segera dibawa ke RS lebih awal, karena serangan terberat demam berdarah adalah pada hari 5. Kalau kondisi tubuh tidak kuat, bisa amat berbahaya. Besoknya, hari ke 5, memang benar-benar makin parah kondisi suamiku, napasnya makin berat, trombositnya belum beranjak naik, tubuhnya sudah benar-benar digerogoti penyakit itu. Malam itu setengah mengigau, dia memanggil namaku, lalu aku genggam tangannya dan aku dekati telingaku ke mulutnya. Aku bisa dengarkan dia mencoba mengucapkan sesuatu, dan air matanya meleleh. Dia coba ucapkan kata-kata “Maafkan aku” lalu aku tenangkan dia, kalau tak ada yang perlu dimaafkan. Aku ikhlas lahir bathin mendampingi dia.

Setelah mendengar kata-kataku, dia tampak tenang, lalu dengan satu tarikan napas dia coba mengucapkan “Lailahailallah” lalu dia pergi selama-selamanya meninggalkan aku. Dia pergi di pelukanku. Aku ingat suatu ketika dia pernah berucap, andai Tuhan mengijinkan, dia ingin meninggal terlebih dahulu dari aku, dan dalam pelukanku, sebab ia ingin aku menjadi orang terakhir dalam hidupnya yang dia lihat. Aku sempat memarahi dia, jangan bilang seperti itu. Tapi dia bilang serius, kalau dia nggak akan sanggup kalau aku yang menginggalkan dia terlebih dahulu. Ternyata Tuhan benar-benar mengabulkan permohonan dia. Orang yang aku jadikan sandaran satu-satunya dalam hidup ini telah pergi selama-selamanya. Tak terkirakan amat sedih dan hancurnya hatiku. Andai aku tak ingat dengan si kecil Faisal, mungkin aku sudah ingin segera menyusul mas Fariz di alam sana.

Mas Fariz benar-benar orang yang jujur dan baik, waktu penguburannya seluruh rekan-rekan kerja, bahkan big boss tempat dia bekerja hadir. Waktu aku tanyakan apakah ada hutang piutang mas Fariz yang harus aku selesaikan. Mereka katakan tidak ada sama sekali, bahkan kantornya memberikan santunan 4x gaji, ditambah uang duka dari rekan-rekannya. Aku juga ditawarkan bekerja di perusahaan tersebut. Tapi untuk saat itu aku benar-benar tidak sanggup melakukan apapun. Aku merasa setengah dari nyawaku sudah hilang. Selama 3 bulan aku berduka, aku tak sanggup pergi dan melakukan apapun. Bahkan tiap tidur, aku masih membayangkan mas Fariz disampingku. Akhirnya untuk semantara waktu aku tinggal dengan ibu mertuaku, supaya Faisal ada yang mengasuh. Rumah dan motor aku jual, karena aku tak sanggup membayangkan kenangan bersama mas Fariz tiap aku melihatnya. Hampir setengah tahun tinggal dengan mertuaku, sampai akhirnya aku putuskan kembali ke kota asalku. Sebenarnya ibu mertuaku amat baik dan sayang padaku. Tapi aku tahu diri tidak mungkin selamanya bergantung pada siapapun. Aku harus bisa mandiri, membesarkan anakku, satu-satunya hartaku yang tersisa.

Aku pulang ke kota asalku dengan sisa uang yang aku punya. Lalu aku mengontrak rumah dan membuka toko kecil-kecilan di depannya. Tetapi mungkin karena aku masih terus berduka dan terbayang suamiku, sehingga aku kadang kurang memikirkan usahaku ini, sampai akhirnya usahaku ini bangkrut. Tokopun aku tutup, uangku habis untuk membayar tagihan-tagihan para suplier barang, semantara penjualanku tak seberapa menguntungkan.

Aku sebenarnya tidak pernah putus asa, apapun aku jalani asal halal. Pernah aku coba jadi pelayan restoran, tapi hanya beberapa bulan karena anakku tak ada yang jaga. Sampai akhirnya aku benar-benar kehabisan uang, tak sanggup lagi membayar kontrakan. Dengan mambawa koper isi pakaian, aku menggendong anakku berjalan tanpa tujuan. Aku benar-benar bingung akan kemana. Pernah terlintas dibenakku untuk kembali ke keluargaku. Tapi justru dengan kondisi seperti ini mereka pasti akan merasa menang. Mereka akan tertawa terbahak=bahak dan terus bisa mengejek seumur hidupku, bahwa aku gagal dalam memilih jalan hidup.

Akhirnya ditengah rasa putus asa, aku teringat masjid tempat dulu aku pertama kali mengucapkan kalimat sahadat. Masjid itu memang bukan masjid raya di kota kami, tapi karena masjid yang tua dan bersejarah, maka banyak jemaah yang datang. Aku berpikir, dulu aku memulai jalan hidupku dari masjid itu, sehingga kalaupun jalan hidupku berakhir aku ingin di masjid itu pula. Aku datangi masjid tersebut. Dan aku shalat mohon petunjuk. Anakku karena kelelahan tertidur disampingku. Aku tak punya uang untuk membeli makanan. Akhirnya aku hanya bisa menangis. Rupanya tangisku didengar oleh seorang bapak, dan beliau rupanya imam masjid tersebut, dan dia yang dulu membimbingku membaca sahadat. Aku tak lupa dengan wajahnya, tetapi dia pasti sudah tak ingat dengan wajahku, karena wajahku tak sesegar dulu lagi.

Sewaktu aku perkenalkan diriku dan aku katakan bahwa aku dulu mualaf yang beliau bimbing, dia langsung ingat tapi juga kaget dengan kondisiku yang seperti ini. Akhirnya aku ceritakan semuanya pada beliau, sebab aku merasa tak ada lagi orang di dunia ini yang aku jadikan sandaran hidupku.

Setelah selesai mendengar ceritaku, dia menyuruh aku agar jangan pergi kemana-mana, dan tetap tinggal di masjid. Beliau juga menyuruh salah seorang jemaah untuk membelikan makanan untuk aku dan anakku. Sebentar kemudian dia pergi meninggalkanku sambil berpesan akan segera kembali menemuiku (rupanya dia pergi mencari tempat untuk aku bisa tinggali). Tak lama beliau kembali menemuiku, sambil tersenyum dia katakan mulai malam ini aku sudah memperoleh tempat tinggal. Aku diajak ke belakang masjid, disitu ada sebuah bangunan tambahan yang terdiri dari beberapa ruangan. Biasanya ruangan itu untuk gudang menyimpan peralatan masjid seperti tikar, kursi-kursi, dll. Salah satu ruangnya tampak sudah kosong, dan dia menunjuk bahwa itu lah rumahku. Aku boleh menempatinya selama aku mau. Ruang disebelahnya ditempati olah pak tua penjaga masjid, sehingga aku ada yang menemani. Ruangan tersebut hanya berukuran kurang lebih 2×2 m. Pak imam masjid itu juga menambahkan kalau nanti aku diberikan honor sekedarnya, kalau mau membantu-bantu membersihkan masjid, sehingga cukup untuk makan. Bahkan beliau menambahkan kalau aku bisa datang kerumahnya sekedar membantu-bantu istrinya memasak, karena memang rumah beliau hanya beberapa ratus meter dari masjid.

Alhamdulillah, aku amat bersykur ternyata Allah mendengar doaku. Aku ingat bahwa Allah tak akan menguji hambanya dengan melebihi beban yang sanggup dia pikul. Aku sudah bersyukur bisa memperoleh tempat berteduh, walau hanya kamar kecil (jauh lebih kecil dibanding kamar mandiku, saat dirumah orang tuaku). Ada lagi yang membuatku merasa tenang, karena aku tinggal berdekatan dengan rumah Allah, tiap aku merasa sedih, aku tinggal masuk ke dalam masjid dan mengadukan langsung pada Allah. Karena tinggal dekat dengan masjid, otomatis shalatku tak terlewatkan sekalipun. Alhamdulilah hidupku sedikit demi sedikit mulai tenang. Aku sering membantu istri pak Imam memasak di rumahnya, dan sebagai imbalannya beliau selalu membekali makanan untuk aku bawa pulang. Sehingga aku tak perlu risau memikirkan makanan sehari-hari. Kalau pak Imam sekeluarga ada keperluan keluar kota, akulah yang dititipi untuk menjaga rumahnya, dan aku bisa tinggal dirumahnya. Sebenarnya mereka sudah menawarkan aku untuk tinggal bersama mereka. Tapi aku tahu diri tak mau terus menerus merepotkan orang lain.

Pekerjaanku rutinku tiap hari adalah membersihkan halaman masjid, membersihkan kaca-kaca jendela. Sedangkan pak tua mengepel lantai masjid. Tiap minggu aku mendapakan honor sekedarnya dari hasil kotak amal di masjid, tapi kadang aku tak mendapatkan sepeserpun karena kadang sudah habis untuk keperluan masjid, tapi aku lakukan itu dengan senang hati dan ikhlas. Sementara ini aku benar-benar ingin mengabdi pada Masjid ini, sebagai tanda terimakasihku. Aku tak mau bersusah payah kesana kemari mencari pekerjaan. Aku percaya kelak masjid ini pula yang akan memberiku jalan memperoleh pekerjaan.

Kadang malam hari aku duduk-duduk di teras masjid, mengobrol dengan pak tua. Dia bercerita kalau anak-anaknya masih ada di kampung, tapi dia juga tak mau merepotkan anak-anaknya. Selama masih kuat, dia tak mau merepotkan orang lain. Lalu saat giliran aku cerita, kadang aku bingung harus cerita apa...??

Apa aku ceritakan kalau dulu aku pernah naik kapal pesiar keliling Eropa, atau aku pernah menginap di hotel mewah di Las Vegas, atau aku punya apartment mewah di Australia. Ah pasti dia akan tertawa dan menganggap aku berkhayal, sebab jangankan tinggal di hotel, sekarang ini uang yang aku punya tak lebih banyak dari 20 ribu.

Dulu tiap minggu aku bisa membeli peralatan make up, eye shadow, lipstick, dll jutaan rupiah. Sekarang ini make up ku hanyalah air wudhu ku tiap aku shalat. Tetapi justru banyak yang mengatakan kalau wajahku tetap bersih, cantik, alami. Kadang orang berpikir aku masih memakai make up. Yah.. mungkin Allah yang memakaikan make up untukku. Kecantikan datang dari dalam, Inner Beauty. Banyak yang bilang, dengan mata sipitku dibalik kerudung, aku terlihat cantik.

Tak terasa aku sudah hampir 2 tahun menetap di masjid itu, anakku sudah sekolah di SD dekat masjid milik suatu yayasan dan tanpa membayar sepeserpun. Aku hanya membelikan seragam dan alat-alat sekolah. Bahagianya hatiku melihat anakku sudah masuk sekolah. Oh. seandainya mas Fariz masih ada dan melihat anak kita dihari pertama pergi ke sekolah. Anakku rupanya tumbuh besar dalam keprihatinan, sehingga dia sangat tahu diri, dia tak pernah sekalipun merengek-rengek minta dibelikan ini itu seperti layaknya anak-anak lain. Pernah hatiku amat trenyuh, ketika dia pulang sekolah dengan kaki telanjang, sambil menenteng-nenteng sepatunya. Sambil tertawa, tanpa mengeluh, dia malah menunjukkan sepatunya kepadaku “Ma, sepatu Faisal udah minta makan”. Maksudnya sepatunya sudah robek depannya, seperti mulut minta makan. Melihat dia tertawa, akupun ikutan tertawa, walau hatiku rasanya ingin menangis. Andai dia tahu, dulu mamanya selalu memakai sepatu berharga jutaan rupiah, sekarang ini membelikan sepatu anakku yang murahpun aku belum sanggup. Alhasil selama 2 hari anakku kesekolah memakai sepatu yang robek itu, sampai akhirnya aku belikan sepatu bekas yang lebih layak dipakai. Aku bersyukur mempunyai anak yang amat tahu diri. Tak mau membebani ibunya. Memang anak yang shaleh akan menjadi bekal yang amat bernilai buat orang tua. Pak Imam mesjid kadang menengok kami, dan menanyakan keadaan kami. Dia sering cerita bagaimana istri nabi Muhammad dulu hidupnya jauh lebih menderita, tetapi tetap tabah menghadapi cobaan dan tak goyah keimanannya.

Beliau kadang bilang, kalau aku pasti akan jadi ahli surga. Berulangkali dia bilang, kalau orang lain nggak akan mungkin sanggup menghadapi cobaan ini, tapi aku tetap bertahan memegang keyakinan, meninggalkan kenikmatan dunia yang justru pernah aku peroleh.

Suatu siang, aku melihat ada mobil datang ke halaman masjid, dari dalam mobil itu keluar 2 orang yang aku masih kenal. Yang satu perempuan bernama tante Grace, yang satunya lagi laki-laki oom Albert. Mereka berdua merupakan lawyer untuk perusahaan dan keluarga kami. Entah bagaimana mereka bisa mengetahui aku ada disini. Mereka membawa sebundel amplop, dan mengajak aku berbicara. Aku bisa lihat mata tante Grace yang memerah menahan air mata sewaktu dia melihat tempat aku tinggal. Bahkan oom Albert suaranya bergetar seperti lehernya tersekat menahan sedih. Mereka katakan diutus oleh orang tua kami. Karena orang tua kami sudah tahu bagaimana keadaanku sekarang. Mereka katakan didalam amplop yang mereka pegang, isinya surat-surat bank, ATM, Ijasahku, yang bisa aku miliki lagi. Bahkan aku dijemput untuk pulang ke rumah mama papaku. Sejenak aku berbahagia, aku pikir orang tuaku sudah terbuka hatinya, aku bisa pergunakan uang yang cukup banyak itu untuk hidup yang lebih baik dengan anakku.

Tetapi dengan suara terpatah-patah oom Albert melanjutkan bahwa mama dan papa memberi syarat. Ketika aku tanyakan apa syaratnya, mereka berdua nyaris tak sanggup melanjutkan pembicaraan. Tante Grace makin menunduk menahan tangis. Akhirnya oom Albert mengatakan kalau syaratnya aku dan anakku harus kembali ke keyakinan yang dulu aku anut. Saat itu juga aku langsung menjawab, kalau aku tak akan mau menerima amplop itu, dan aku katakan agar kembalikan ke orang tuaku. Mereka amat sangat minta maaf padaku, karenamereka tahu aku tersinggung. Tapi aku juga sadar mereka hanya menjalankan tugas. Bahkan tante Grace menambahkan andai mengikuti hati nurani pasti mereka sudah serahkan itu amplop padaku tanpa syarat apapun, tapi mereka terikat profesi mereka. Akhirnya mereka pamit meninggalkanku. Tapi beberapa saat kemudian mereka balik kembali menemuiku, aku pikir mereka akan membujukku. Tapi rupanya mereka berinisiatif memfoto copy ijasah-ijasahku dan menyerahkan copynya ke aku. Mereka lakukan atas inisiatif mereka sendiri, walau dengan risiko kehilangan pekerjaan. Mereka katakan hanya itu yang bisa mereka bantu untukku. Oh. terima kasih Tuhan… Sedikit-dikit Tuhan memberikan jalan untukku. Akhirnya aku punya bukti kalau dulu aku pernah sekolah tinggi sampai di luar negeri.

Rupanya Tuhan sudah cukup mengujiku, dan sepertinya aku mulai diberikan rewards atas ketabahanku selama ini. Tuhan mulai memberikan jalan yang terang untukku.

Suatu pagi di halaman masjid tampak 2 orang perempuan yang sedang mengamati bangunan masjid. Satunya seorang bule entah dari negeri mana, sedangkan satunya lagi perempuan lokal. Kebetulan pak tua sedang di halaman, sehingga mereka menghampirinya.

Masjid tersebut memang unik, karena merupakan bangunan tua dengan arsitektur melayu kuno, sehingga kadang sering dikunjungi orang dan biasanya pak tua lah yang menjadi juru bicara karena memang dia yang tahu sejarah masjid tersebut. Akupun banyak mendapat carita dari pak tua tentang masjid tersebut sehingga aku tahu banyak pula tentang sejarah masjid tersebut.

Aku hanya perhatikan dari jauh, dua orang pengunjung itu ngobrol dengan pak tua sampai akhirnya aku lihat si bule agak kebingungan. Didorong rasa ingin tahu, aku hampiri mereka. Dengan sopan aku perkenalkan diri dan menawarkan diri untuk membantu. Ternyata si bule itu adalah mahasiswi arsitektur dari Australia yang sedang melakukan study, sedangkan pendampingnya adalah mahasiswi arsitektur dari univ. T di kotaku yang bertugas sebagai penterjemah, panggil saja ‘Retno’. Rupanya si mahasiswi lokal tersebut kurang lancar bahasa Inggrisnya sehingga membuat si bule kadang kebingungan mendengar terjemahan cerita dari pak tua. Dengan sopan pula aku ajukan diri untuk membantu si bule itu. Dengan bahasa inggrisku yang sangat lancar aku ceritakan dari awal sampai akhir semua tentang masjid tersebut. Aku ajak pula berkeliling ke tiap sudut masjid. Si bule tambah takjub ketika aku katakan pernah study di negerinya. Retno terus memandangiku setengah tidak percaya tentang diriku. Setelah puas mendapatkan informasi, sebelum pulang Retno berjanji akan menemuiku kembali segera, ada yang ingin dia tanyakan lebih banyak tentang diriku katanya. Aku dengan senang hati akan menerima kedatangannya kapan saja.

Beberapa hari kemudian Retno memang benar-benar kembali datang menemuiku, kali ini dia sama sekali tidak membicarakan perihal arsitektur masjid. Tapi tentang diriku. Dia amat ingin tahu tentang diriku, akhirnya aku ceritakan dari awal sampai saat ini perjalanan hidupku ini. Dia amat bersimpati dan berkeinginan menolongku. Walau aku tidak mengharapkan pertolongan orang lain, tapi aku hargai niatnya membantuku. Dia bilang dengan pendidikan dan kemahiranku berbahasa asing, pasti aku akan dapatkan pekerjaan, apalagi aku sekarang sudah

mempunyai bukti fotocopy ijasahku. Kira-kira seminggu kemudian dia kembali datang kepadaku, dan menyuruhku membuat surat lamaran, bahkan dia sendiri yang membawa kertasnya dan amplopnya. Dia katakan di rektorat universitas memerlukan beberapa tenaga honorer. Aku terharu ada orang lain yang peduli mau membantuku tanpa pamrih, aku ucapkan banyak terimakasih padanya. Bagiku dia seperti diutus Tuhan untuk menolongku. Tak lama kemudian aku mendapat kabar gambira, aku dipanggil menghadap ke rektorat universitasnya untuk test dan wawancara. Sebelum berangkat aku shalat memohon kepada Allah agar diberikan kelancaran. Anakku aku titipkan pak tua, yang memang sudah aku anggap sebagai orang tuaku sendiri.

Alhamdulilah semua test aku lalui dengan lancar, bahkan sewaktu wawancara bahasa Inggris, justru akulah yang lebih menguasai ketimbang yang mewawancaraiku. Dia sampai menyerah, dan mengatakan bahasa Inggrisku sudah perfect melebihi kemampuan dia.

Tak sampai seminggu kemudian, Retno mendatangiku lagi. Kali ini dia tampak gembira sekali, dia katakan dalam beberapa hari aku akan mendapat surat dari rektorat yang isinya penerimaan aku sebagai karyawan. Dia bisa lebih dulu tahu karena ada temannya yang bekerja disana. Langsung aku menuju masjid dan bersujud syukur lama sekali. Aku merasa telah lulus segala test yang diujikan Allah tehadapku. Memang kadangkala aku sering bertanya pada Allah, apakah karena aku mualaf sehingga Allah kurang percaya dengan keimananku, sehingga perlu mengujinya dengan ujian yang amat berat.

Walau sebagai karyawan honorer tapi aku sudah bersyukur, yang penting aku sudah memperoleh penghasilan yang layak. Kerjaanku membantu bagian keuangan di rektorat, memang sesuai dengan ilmuku, tetapi mulai banyak orang yang tahu kalau aku lulusan dari luar negeri. Setiap ada seminar dan memerlukan makalah dalam bahasa Inggris pasti aku yang diberikan tugas tambahan untuk menyusunnya. Akupun banyak membantu menterjemahkan litelatur-literatur asing untuk dipergunakan para mahasiswa. Nyaris sejak 3 tahun terakhir, aku tidak pernah membeli baju baru. Dengan gajiku sekarang aku sudah bisa membeli lagi. Aku amat sangat senang bukan main, bisa membelikan pakaian yang bagus-bagus untuk anakku. Bahagia rasanya melihat anakku bisa aku berikan pakaian yang layak. Pakaian sekolahnya yang sudah menguning, sekarang sudah aku belikan yang baru putih bersih, dan juga sepatu baru. Sepatunya yang dulu robek, masih aku simpan sebagai kenangan.

Beberapa bulan kemudian aku sudah mampu mengontrak rumah sendiri. Sebelum aku meninggalkan masjid tersebut tak lupa aku berpamitan ke rumah pak Imam, aku ucapkan banyak terima kasih atas pertolongannya, beliau katakan yang menolong bukan dia tetapi Allah SWT yang menolongku. Aku peluk dia lama sekali, dan aku katakan dahulu aku mengucapkan sahadat di depan dia, dan aku tak akan pernah mengingkarinya seumur hidupku, apapun yang terjadi. Sebelum pergi, aku sempat memandangi kamarku untuk terakhir kalinya, sempat beberapa menit aku tertegun, membayangkan, mungkin kelak ruangan ini akan dipakai oleh orang-orang yang senasib seperti aku. Aku berharap semoga Allah memberi kekuatan.

Setelah aku melewati segala cobaan, Tuhan tampaknya terus menerus memberikan semacam rewards kepadaku. Belum genap setahun aku bekerja, pihak rektorat meberikan kabar kalau statusku akan ditingkatkan menjadi karyawan tetap, bahkan beberapa dosen senior sudah menawariku untuk membantu mengajar. Memang rekan-rekan kerjaku mengatakan kalau karirku bakal amat bagus karena orang dengan kemampuan sepertiku amat dibutuhkan. Mereka bilang kesuksesanku hanya menunggu waktu saja. Aku hanya bisa mengucap puji syukur Alhamdulilah. Andai dulu aku sering berdoa dengan linangan air mata kesedihan, sekarangpun aku masih sering menangis ketika berdoa, tapi kali ini aku menangis bahagia.

Sampai saat ini aku masih sendirian, aku bertekad membesarkan anakku sebaik-baiknya, bagiku aku masih merasa istri dari mas Fariz. Masih sulit rasanya menggantikan dia dihatiku. Seperti yang aku pernah katakan, dia bukan hanya suami, tetapi soulmate ku, dan tak tergantikan. Tetapi entah kalau Allah mempunyai rencana lain untukku. Tiap memandang anakku, aku seperti melihat mas Fariz. Seperti dia masih mendampingiku.

Alhamdulilah dengan penghasilanku sekarang ini, aku kini bahkan sudah mampu membeli sepeda motor untuk keperluan transportasiku. Kadang diakhir pekan aku berboncengan dengan anakku jalan-jalan rekreasi. Kadangkala aku sengaja lewat depan rumah orang tuaku, sambil aku katakan bahwa itulah rumah opa dan oma. Sering anakku bertanya, “Ma, kapan kita pergi main kerumah oma-opa?”. Aku tak bisa menjawab, karena menahan air mata.

Walaupun begitu aku terus berdoa, semoga suatu saat kelak, kedua orangtuaku dibukakan pintu hatinya, kalaupun tidak mau menerima aku lagi, mohon terima anakku, cucunya, darah daging mereka sendiri.

Judul: Berjuang Mempertahankan Keyakinan *IZINKAN AKU MEMILIH ISLAM.

http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/04/17/izinkan-aku-memilih-islam/


Baca juga:

Ketika Hidayah Islam Merengkuh Jiwaku


(Kisah Mua'laf)

Bismillahirrahmanirrahiim...
Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh...

Namaku Erlina, aku ingin berbagi cerita kepada saudariku muslimah, bukan untuk mengajarkan tentang fiqih atau hadits atau hal lainnya yang mungkin ukhti muslimah telah jauh lebih dulu mengetahuinya daripada aku sendiri. Karena di masa lalu, aku beragama Kristen…

Sejak kecil aku beserta kedua adikku dididik secara kristen oleh kedua orangtuaku, bahkan aku telah dibaptis ketika masih berumur 3 bulan dan saat berusia 18 tahun aku telah menjalani sidhi, yaitu pengakuan setelah seseorang dewasa tentang kepercayaan akan iman kristen di depan jemaat gereja. Aku juga selalu membaca Alkitab dan membaca buku renungan –semacam buku kumpulan khotbah– bersama keluargaku di malam hari. Seluruh keluargaku beragama Kristen dan termasuk yang cukup taat dan aktif. Bahkan dari keluarga besar ayah, seluruhnya beragama Kristen dan sangat aktif di gereja sehingga menjadi pemuka dan pengurus gereja. Sedang dari keluarga ibu, nenekku dulunya beragama Islam, namun kemudian beralih menjadi Katholik.

Sejak kecil aku adalah anak yang sangat aktif dalam kegiatan keagamaan. Tentu saja kegiatan keagamaan yang aku anut saat itu beserta keluarga besarku. Kecintaanku pada agama Kristen demikian kuat mengakar dan terus bertambah kuat seiring pertumbuhanku menjadi wanita dewasa. Sedari kecil aku sangat rajin ikut Sekolah Minggu, bahkan hampir tidak pernah absen. Aku selalu ingin mendengarkan cerita agama Kristen atau cerita dari Alkitab di Sekolah Minggu.

Setiap pelajaran Sekolah Minggu kucatat dalam sebuah buku khusus. Cerita-cerita tersebut kuhafal sampai detail, sehingga setiap perayaan Paskah dan Natal aku selalu menjadi juara lomba cerdas tangkas Sekolah Minggu. Pernah suatu ketika, karena aku sering sekali menang, seorang juri memberikan tes tersendiri.

Hal ini untuk memastikan bahwa aku layak mendapatkan juara pertama, apalagi saat itu aku masih lebih muda dari peserta dan juara lainnya. Ternyata aku bias menjawab pertanyaan juri tersebut. Akhirnya aku tetap mendapatkan hadiah, namun hadiah khusus di luar juara satu sampai tiga. Kebijakan ini untuk memberikan kesempatan pada peserta lain untuk menjadi pemenang.

Ketika aku menginjak usia SMP dan SMA, aku tetap aktif dalam kegiatan persekutuan remaja dan pemuda di sekolah. Aku juga aktif di tingkat yang lebih besar yaitu kegiatan persekutuan antar siswa Kristen dari sekolah-sekolah sekota Magelang, juga persekutuan remaja di gereja. Bahkan aku juga ditunjuk menjadi ketua persekutuan remaja di gereja. Setiap minggu aku disibukkan dengan kegiatan persekutuan, mempersiapkan acara, topik, pembicara, membuat undangan dan menyebar undangan. Aku tidak pernah bosan mengundang rekan-rekan untuk hadir. Walaupun aku tahu ada di antara mereka yang malas hadir, aku tetap memberikan undangan kepada mereka. Betapa semangatnya aku saat itu…

Setelah lulus SMA, aku meneruskan kuliah di FKG UGM. Dan seperti sebelumsebelumnya, aku kembali aktif di kegiatan keagamaan (Kristen). Kali ini aku mengikuti kegiatan persekutuan mahasiswa di FKG dan di tingkat UGM. Aku sangat senang dan menikmati kegiatanku tersebut saat itu. Bermacam-macam aktifitas, perayaan Natal, Paskah, panitia lomba vokal grup lagu gerejawi dan lainnya aku ikuti. Aku sering mengajak teman-teman-teman satu kos untuk menyanyi bersama lagu-lagu gerejawi di kos, berdiskusi pemahaman kitab dan lainnya.

Ternyata keaktifanku dalam kegiatan keagamaan ini semakin masuk ke dalam ketika aku diajak bergabung dengan pelayanan “Para Navigator”. Pesertanya sebagian besar mahasiswa. Di sini kami belajar banyak hal tentang kekristenan, dibimbing oleh pembimbing rohani dalam satu kelompok, mengadakan diskusi pemahaman Alkitab setiap minggu dengan menggunakan buku panduan seperti kurikulum yang bertingkat dari dasar ke tingkat tinggi. Di sini kami juga diajarkan dan diminta untuk menghafal ayat-ayat Alkitab –dengan diberikan panduan berupa kartu yang berisi ayat untuk dihafalkan-, dan setiap minggu harus bertambah ayat yang kami hafal. Akhirnya aku dapat menyelesaikan paket kurikulum dan diminta membimbing anak rohani. Metode pelayanan ini biasa dikenal dengan metode sel, belajar berkelompok, kemudian berkembang dengan masing-masing anggota yang akan memiliki anak-anak lain untuk dibimbing, sehingga orang-orang yang terlibat di dalamnya akan berkembang dan bertambah banyak. Dalam pelayanan ini, terkadang kami pun diajarkan dan dianjurkan untuk berdakwah mengajak orang lain mengenal dan mengikuti ajaran Kristen.

Entah mengapa, setelah aku masuk stase (tingkatan) klinik, mulai ada beberapa teman (muslim) yang mendekati dan ingin memperkenalkan Islam kepadaku. Reaksiku? Jelas marah dan kutolak mentah-mentah. Pernah juga aku dipinjami Al-Qur’an dan diminta untuk membacanya oleh seorang teman. Sungguh aku sangat marah terhadapnya sampai-sampai aku tak ingin berbicara dengannya.

Sampai akhirnya aku bertemu dengan dia –sebut saja A– yang alhamdulillah kini telah menjadi suamiku. Kalau teman-teman lain ingin memperkenalkan Islam dengan cara langsung dengan Al-Qur’an dan hal-hal lainnya yang jelas-jelas berbau Islam, maka A mengenalkan Islam dari sisi yang beraroma Kristen. Dan aku sangat antusias saat itu. Apalagi ia menyatakan bahwa jika Kristen lebih benar dari Islam, maka dia akan mengikuti agama Kristen. Kesempatan emas! Pikirku. A juga banyak bertanya tentang Bible, bahkan ia katakan telah tamat membaca Alkitab Perjanjian Baru sebanyak tiga kali! Aku pikir, orang ini benarbenar tertarik akan agama Kristen. Aku saja belum pernah membaca dari awal hingga akhir kitab tersebut secara berurutan. Aku semakin bersemangat saat itu. Banyak yang dia ketahui tentang Alkitab Kristen dan tentang Kristen. Ternyata sejak kecil ia bersekolah di sekolah Katholik dan mempelajari agama Katholik serta sejarahnya, dan ketika ia kuliah di UGM, ia juga terkadang berkunjung ke toko buku Kristen untuk membaca.

Namun, yang terjadi selanjutnya ternyata di luar dugaanku. A memang banyak tahu tentang agamaku, namun ia juga memiliki pengetahuan tentang Islam. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan olehnya dan berkaitan dengan agamaku, yang terkadang pertanyaan itu begitu mudah, namun aku sangat kesulitan menjawabnya. Diskusi-diskusi yang kami lakukan membuat kami menjadi dekat. Aku pun telah lulus kuliah dan bekerja. Begitu pula A, hanya saja dia bekerja di Jakarta. Namun, kami masih terus melanjutkan diskusi tentang agama Kristen yang telah kami lakukan sebelumnya. Ya… masih berlanjut seperti itu, pengenalan tentang agama Islam yang dilakukan dengan cara tidak langsung.

Dari diskusi-diskusi itulah ia terkadang memasukkan sentilan Islam secara tidak langsung dan tidak aku sadari (karena pertanyaan dan hal-hal yang didiskusikan sebenarnya telah jelas jawabannya di Islam). Banyak bentrok di antara kami dalam diskusi tersebut. Kadang bahkan membuat aku marah, menangis, jengkel. Namun diskusi itu terus berlanjut. Masih ada rasa penasaran, jengkel dan marah yang berbaur menjadi satu. Namun… banyak sekali pertanyaan darinya yang tidak bisa aku jawab. Akhirnya A mengusulkan agar meminta pendeta yang ahli untuk diajak diskusi bersama. Wah!! Betapa senangnya aku mendengar sarannya itu. Orang ini benar-benar bersemangat belajar Kristen. Aku sangat berharap akhirnya nanti dia bisa beragama Kristen. Rasanya bahagia jika aku berhasil membuat ia mengikuti iman Kristen.

Dengan sebab tersebut, aku mencari dan menghubungi pendeta yang terkenal, senior dan sangat berkualitas di Jogja. Sebut saja pendeta X. Aku berharap pendeta X dapat membantuku ‘memberi pelajaran’ tentang Kristen kepada A. Keluargaku pun ikut bersemangat dan sangat mendukung rencanaku ini. Saat itu, aku bersyukur bapak pendeta ini mau dan bersedia membantu rencanaku. Akhirnya, kami melakukan diskusi bertiga. Keadaannya saat itu, bukanlah sebagaimana seseorang yang ingin saling berdebat antar agama. Tidak. Kondisi saat itu, baik A maupun aku sama-sama sebagai orang yang belajar dan mencari kebenaran. Walaupun tidak ada pernyataan sebagaimana yang A lakukan bahwa jika Islam lebih benar aku akan mengikuti agamanya.

Mulailah kami berdiskusi setiap pekan di hari Sabtu. Beberapa pertanyaan yang A ajukan antara lain adalah:

Kapan dan bagaimana cara Yesus berpuasa? Mengapa orang Kristen tidak berpuasa?

Tentang penghapusan hukum Taurat (Yesus menolak membasuh tangan sebelum masuk rumah).

Benarkah kisah yang menceritakan Yesus berdoa dengan bersujud? Dan bagaimana orang Kristen berdoa saat ini?

Dahulu, orang Yahudi termasuk Yesus dikhitan. Mengapa orang Kristen sekarang tidak? Pendeta menjawab, orang Kristen ada yang berkhitan tapi bukan untuk mengikuti hukum Tuhan (Taurat), tetapi untuk alasan kesehatan.

Mengapa orang Kristen tidak mengenal najis? Padahal hal najis di Taurat lebih berat daripada hukum Islam. Pendeta menjawab, dalam Kristen hal itu tidak perlu karena di dalam tubuh kita juga ada najis.

Apakah surga itu bertingkat-tingkat menurut Kristen?

Pendeta menjawab, “Tidak, dalam Kristen surga tidak bertingkat-tingkat.”

Lalu kami bertanya, “Mengapa dalam injil dikatakan ada surga rendah dan surga tinggi?

Terdapat ramalan dalam Alkitab tentang kedatangan anak manusia ‘Ia akan berada di perut bumi tiga hari tiga malam’ seperti kejadian nabi Yunus di dalam perut ikan. Siapakah dia?

Pendeta menjawab, “Jelas ramalan untuk Yesus setelah kematian di kayu salib dan dikubur di gua.”

Akhirnya kami bertiga sama-sama menghitung. Dan berkali-kali, hasil perhitungan itu adalah dua hari dua malam atau maksimal adalah tiga hari dua malam dengan konsekuensi memasukkan hari minggu sebagai satu hari penuh, padahal minggu pagi –sebelum matahari terbit- , kubur Yesus telah kosong. Karena perhitungan tersebut tidak cocok dengan ramalan tiga hari tiga malam, pertanyaan tersebut ditunda untuk didiskusikan pekan berikutnya.

Saat kami datang pekan berikutnya, pendeta sudah memiliki jawaban, yaitu perhitungan hari orang Yahudi berbeda dengan kita.

Waktu itu kami tercengang, heran namun akhirnya tersenyum mengerti bahwa sebenarnya pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh sang pendeta. Padahal kejadian nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam gua selama tiga hari tiga malam mestinya lebih bisa menjawab ramalan tersebut.

Ah, saudariku… sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang kami diskusikan saat itu. Kiranya ini cukup untuk menggambarkan diskusi yang terjadi saat itu. Pertanyaan-pertanyaan kami bukanlah pertanyaan yang berat yang berkaitan dengan akidah. Bukan tentang trinitas ataupun ketuhanan Yesus. Namun, itupun banyak yang tidak terjawab. Dan dalam diskusi ini, A tidak pernah mendebat dengan dalil-dalil Islam, Al-Qur’an dan hadits. Sehingga memang terkesan bahwa kami berdua sedang berguru kepada pendeta tersebut.

Kami tidak pernah berdebat, menyalahkan atau mempermalukan beliau. Kami tetap hormat, dan pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan berkesan layaknya konfirmasi, “Apakah ini benar”, “Mengapa seperti ini”, dan semacamnya, kemudian menilai jawaban yang pendeta tersebut berikan.

Dan jika kami tahu sebenarnya beliau tidak dapat menjawab pertanyaan kami, dan tampak jawabannya dipaksakan, tidak logis (seperti tentang ramalan tiga hari tiga malam), maka kami hanya tersenyum dan tidak memperpanjang pembahasan hal tersebut. Saat itu, pendeta tersebut menganjurkan agar kami membaca buku karangan seorang Pastor yang berjudul Gelar-Gelar Yesus. Namun, aku malah mendapati, si pengarang justru mengatakan bahwa di Alkitab tidak ada yang secara langsung menyebutkan bahwa Yesus itu Tuhan dan dia tidak pernah menyatakan diri sebagai Tuhan. Sehingga anjuran ini justru menjadi semakin menambah pertanyaanku dan memperbesar keraguanku akan iman Kristen.

***
Setelah diskusi berlangsung beberapa kali, pendeta tersebut minta maaf karena tidak bisa melanjutkan diskusi lagi karena akan pergi ke luar negeri selama beberapa waktu. Beliau merekomendasikan dua orang pendeta untuk menggantikan posisi beliau selama beliau tidak ada. Pendeta pertama adalah seorang yang dulunya beragama Islam namun keluar (murtad) dari agama Islam dan menjadi pendeta. Saat kami mendatangi rumah pendeta ini, dari pembicaraan dengannya terkesan bahwa beliau menolak dan menghindar dengan alasan yang tidak jelas.

Pendeta kedua adalah seorang doktor teologia ahli perbandingan agama dan memiliki kedudukan yang cukup tinggi di sebuah universitas. Karena kesibukan dan kedudukan beliau inilah, kami agak kesulitan menemui beliau. Ketika akhirnya kami berhasil menemuinya, ternyata beliau keberatan dan tidak bersedia berdiskusi bersama kami dengan alasan sibuk. Pendeta kedua ini menyarankan agar kami kembali berdiskusi dengan pendeta X. Karena proses diskusi ini (yang tadinya aku berharap begitu banyak para pendeta ini dapat memberi pelajaran pada A) ternyata sedikit terhambat, akhirnya aku mendatangi pendeta X seorang diri. Aku menceritakan semua hal berkenaan dengan latar belakang diskusi ini dan aku memohon kepada beliau untuk membantuku meneruskan proses diskusi dengan A. Sayangnya… ternyata beliau menolak permintaanku dengan alasan yang tidak jelas –bahkan bisa dikatakan tanpa alasan-.

Sebagaimana harapan besar lainnya – yang jika tertumpu pada seseorang namun ternyata tidak dipenuhi oleh orang tersebut-, maka kekecewaan yang besar pun kurasakan waktu itu. Ketika aku pamit pulang, pendeta tersebut masih sempat berpesan kepadaku, “Apapun yang terjadi, jangan sampai kamu menikah dengan dia (A). Kalau dia tidak mau masuk agama Kristen, pertahankan imanmu (iman Kristen).

Gundah, bingung, sedih, dan kekecewaan yang menumpuk, semua bergumul menjadi satu setelah mendapat berbagai penolakan dari pihak-pihak yang aku harapkan dapat membantuku memberi penjelasan tentang agama Kristen ini kepada A. Bahkan pihak-pihak ini adalah orang yang kuanggap pakar dan ahli sehingga dapat membantuku menjawab dan menjelaskan tentang agama Kristen kepada A. Aku pun merasakan sesuatu yang janggal dari pesan terakhir dari pendeta X. Aku simpulkan bahwa sebenarnya mereka tidak memiliki argument dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan aku merasakan bahwa ada sesuatu yang kurang dari agama ini (Kristen).

Sejak itulah, aku berusaha melihat dan menilai Islam dan Kristen sebagai dua agama yang sejajar kedudukannya, dan aku berusaha berada pada posisi netral seakan-akan sedang menjadi juri untuk keduanya. Berat dan tertekan. Itu yang aku rasakan ketika harus bergumul dan berusaha keras untuk melepaskan diri dari doktrin Kristen. Doktrin yang telah aku cintai sejak kecil dan telah kuikat secara sungguh-sungguh. Namun, dari sinilah aku mulai membuka diri dengan selain Kristen.

Aku baru bisa mulai mempelajari seperti apa Islam sebenarnya. Kesan pertama yang kudapatkan dalam penilaianku adalah, ‘Apa yang jelek dari Islam? Kelihatannya ajarannya ok ok saja.’ Sambil melakukan ini, aku tetap terus membaca Alkitab Kristen.

Suatu ketika, A mengajukan suatu ayat dalam Alkitab yang mengatakan, ”Jangan sampai kita sudah setiap hari menyeru ‘Tuhan-Tuhan,’ tetapi tidak selamat seperti yang tertulis dalam Injil.” Kata-kata ini terpatri dalam benakku. Malam harinya, aku mencari ayat itu dalam Alkitab dan menemukannya, yaitu pada Matius 7:21, yang isinya, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, ‘Tuhan, Tuhan!’ akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-ku yang di sorga.”

Aku termenung seakan-akan tak percaya yang aku baca. Perlahan-lahan ‘ku tutup Alkitab yang sedang kubaca tersebut.

Keesokan harinya dan hari-hari sesudahnya terasa seperti hari penuh perenungan untuk pikiran dan benakku. Walaupun aku (berusaha) beraktifitas seperti biasa, namun pikiranku tidak tenang memikirkan ayat tersebut. Untuk meyakinkan diriku, ‘ku baca kembali ayat tersebut berulang-ulang, namun ternyata aku justru menjadi ketakutan setelah memikirkan makna yang terkandung di dalamnya. Sepertinya ayat ini sangat berkaitan dengan apa yang telah aku lakukan selama ini, dan aku takut ternyata aku termasuk yang pada akhirnya tidak masuk surga. Jangan-jangan apa yang kulakukan selama ini walaupun dengan kecintaan dan kesungguhan dan penuh perjuangan adalah hal sia-sia.

Sejak itu, aku mulai tertarik dengan Islam dan menjadikannya alternative pengganti agamaku. Aku mulai bekerja di luar kota Yogyakarta di sebuah Puskesmas di Banjarnegara. Sendirian… tanpa sanak saudara ataupun teman dekat dan sahabat yang dapat kuajak diskusi tentang Islam.

Aku belajar tentang Islam dari pengajian-pengajian masjid di desa yang terdengar dari pengeras suara atau acara desa dan kecamatan yang biasanya terdapat sentilan tentang ajaran Islam. Dan tentu saja tak ketinggalan, aku belajar dari diskusi yang sangat sangat banyak dengan A.

Sampai pada akhirnya, A menawarkanku untuk masuk Islam, dan akupun menyetujuinya walaupun tidak langsung melaksanakannya. Aku masih terus berdiskusi, belajar dan berpikir sehingga aku benar-benar merasa yakin dan mantap untuk memeluk agama Islam.

Dan ketika keyakinan ini bertambah kuat, aku merasa ada kebutuhan mendesak yang harus kulakukan, yaitu aktifitas menyembah Allah. Rasanya keyakinanku akan sia-sia dan terasa hampa jika tidak ada aktifitas ibadah yang harus aku lakukan untuk menyembah Allah. Namun, aku sama sekali belum bisa cara beribadah yang ada pada Islam.

Dengan melihat orang sholat di televisi dan memperhatikan teman sholat, akhirnya aku berusaha meniru gerakan sholat. Tentu saja segala sesuatunya masih kacau saat itu. Dengan hanya memakai piyama tidur (tanpa tahu ada aturan harus menutup seluruh aurat saat shalat) menggelar selimut untuk dijadikan sajadah, dan berdiri tidak mengetahui harus menghadap kemana, aku sholat. Ya! Aku sholat! Hanya dengan tiga kalimat yang aku ketahui, bismillahirrahmanirrahim, allahu akbar, dan alhamdulillah dan dengan gerakan yang tanpa urutan dan aturan. Rasanya melegakan karena aku melepaskan keinginan untuk menyembah satu Ilah dan hanya Ilah inilah yang harus aku sembah.

Aku lakukan ini berkali-kali tanpa diketahui oleh siapapun. Aku masih belum mengetahui tentang pembagian sholat yang lima waktu. Aku masih sendirian saat itu, menjadi kepala Puskesmas, dan aku pun masih merahasiakan statusku dari siapapun termasuk staf di kantor bahkan Si A tidak tahu kalau aku melakukan sholat karena aku masih malu, takut dan masih menutup diri. Sehingga tidak ada seorangpun yang dapat mengajariku.

Sampailah waktunya…

Aku dan A memberanikan diri datang kepada orangtuaku. Di situ, A mengutarakan keinginanku untuk memeluk agama Islam kepada orangtuaku. Dapat dibayangkan apa yang terjadi. Kekagetan luar biasa, marah, tidak percaya mengelegak keluar. Orangtua memintaku mengutarakan sendiri hal tersebut, dan aku pun mengatakan hal yang sama, “Aku ingin masuk Islam.” Mereka tetap tidak percaya dan memintaku memikirkannya kembali. Aku kembali ke Banjarnegara dan A juga kembali ke Jakarta tempat ia bekerja.

Beberapa waktu kemudian, Bapak, Ibu dan adikku menemuiku di Banjarnegara. Menanyakan kembali keputusan akhirku. Saat itu, aku meminta A menemaniku, karena aku dalam kondisi sangat takut dan kalut. Jawabanku pun tetap sama, “Aku ingin masuk Islam.”

Betapa orangtuaku marah mendengarnya.

Sebuah kemarahan yang aku belum pernah menyaksikan sebelumnya. Ibu berkata, “APA KAMU SANGGUP MENGHIANATI YESUS!!! TEGANYA ENGKAU DENGAN YESUS!!!

Rasanya hatiku teriris mendengar teriakan marah dan kekecewaan yang luar biasa dari kedua orangtuaku tersebut. Aku pun memahami jika akan seperti ini, karena seluruh keluarga besar beragama Kristen dan hampir seluruhnya adalah aktivis-aktivis gereja, sering berkhotbah di gereja. Tidak ada satupun yang beragama lain.

Dan… aku yang diperkirakan juga akan mengabdi dengan sesungguhnya pada agama Kristen ternyata menjadi orang pertama yang masuk ke agama Islam. Tentu ini hal yang sangat berat terutama untuk kedua orangtuaku. Anggapan-anggapan negatif baik dari pihak keluarga, jemaat gereja, keluarga besar lainnya tentu akan datang bertubi-tubi menekan mereka. Dengan keputusanku yang tidak berubah ini, akhirnya hubunganku dengan keluarga menjadi agak renggang.

Derai air mata sejak itu masih terus mengalir. Aku sempat ragu ketika mengingat perkataan ibuku,

Sanggupkah engkau mengkhianati Yesus.

Tegakah pada Tuhan Yesus.”

Pikiranku terus berkecamuk, ‘Benarkah itu? Benarkah aku harus menyembah Yesus? Benarkah jika aku memeluk Islam, Yesus akan marah?’ Berkutat pada kebimbangan antara perkataan orangtuaku dan apa yang telah kupelajari dalam Islam. Dalam puncak kebingunganku, aku bermimpi…

Aku hendak pergi tidur. Tiba-tiba… terdengar ketukan dari jendela kayu yang bersebelahan dengan tempat tidurku. Kubuka jendela tersebut dan aku kaget karena ternyata di depanku ada sesosok Yesus (wajahnya memang tidak jelas, namun berjubah dan dalam mimpi itu aku dipahamkan bahwa itu adalah Yesus). Sosok itu tidak berbicara apa-apa namun tampak seperti tersenyum, tidak marah dan mengulurkan tangannya (seperti) hendak menyalamiku. Sosok tersebut tidak berbicara namun aku dipahamkan bahwa maksud beliau adalah mengucapkan selamat kepadaku. Setelah itu sosok tersebut berlalu.

Aku pun terbangun dalam keadaan bingung dan takut. ‘Apa maksud mimpi ini?’ pikirku. Apakah ini suatu tanda bahwa pilihanku benar.

Waktupun berlalu dan aku semakin mengokohkan keputusanku untuk memeluk agama Islam. A yang hampir selalu hadir dalam perjalananku menggapai hidayah Islam ini akhirnya melamarku. Alhamdulillah… akhirnya orangtuaku pun mengizinkan kami menikah. Hubungan kami dengan keluargaku sudah baik kembali sampai saat ini. Kami menikah dengan wali dari KUA. Rasa haru dan bahagia menyelimutiku saat itu. Setelah menikah, aku langsung minta dibelikan mukena dan minta diajarkan shalat. Dan A terus mendampingiku dan mengajarkanku shalat lima waktu. Sampai aku telah dapat melakukan shalat sendiri, A baru bisa menjalankan kewajibannya untuk shalat di masjid.

Perjalananku dalam memahami Islam tentu saja tidak berhenti sampai di situ. Setelah lima tahun sejak aku masuk ke dalam agama Islam, aku melanjutkan studi S2 di FK UGM, jurusan Ilmu Kedokteran Dasar dan Biomedis (minat Histologi dan Biologi Sel) dan aku seperti tersentak untuk kedua kalinya. Aku baru menyadari dan memahami betapa Allah mengatur segala sistem dalam tubuh kita dengan begitu rapi, canggih, teratur, beralasan dan sempurna sampai ke tahap molekuler, tanpa kita sadari. Aku banyak termenung saat menyadari hal itu, namun juga menjadikanku banyak bertanya kepada dosen pakar saat itu. Subhanallah, Dia-lah pencipta, pengatur, pemelihara yang sedemikian rupa rumitnya. Dan tidak mungkin semua itu berjalan, berproses dan bermekanisme dengan sendirinya. Mulai saat itulah aku lebih terpacu lagi untuk belajar dengan membaca dan memahami Al-Quran.

Dan proses belajar itu terus berlangsung sampai sekarang. Dahulu aku telah mengetahui bahwa Allah-lah, Ilah yang disembah dalam agama Islam. Namun, perlu waktu bertahun-tahun untuk aku memahami bahwa hanya Allah-lah Ilah yang BERHAK untuk disembah. Dan pemahaman ini ternyata suatu perkembangan, semakin kita belajar mengenal Rabb kita, insya Allah semakin bertambahlah pemahaman dan ketauhidan kita, dan akan semakin sadar bahwa masih banyak sekali hal yang tidak kita ketahui. Dari proses pembelajaran inilah aku semakin memahami siapakah Allah yang selama ini aku sembah, mengapa hanya Allah yang harus aku sembah. Kini aku sedikit lebih paham (karena masih banyak hal yang belum aku pahami), tentang kekuatan rububiyah Allah (sebagai pencipta, yang berkuasa) yang melazimkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan mengapa aku tidak boleh mempersekutukan-Nya karena jika aku melakukan kesyirikan maka ia akan menjadi dosa yang tak terampuni (jika tidak bertaubat).

Saudariku… agama Islam terlalu tinggi, canggih dan terlalu sempurna, dengan konsepnya yang sangat jelas, sehingga agama-agama lain menjadi sangat lemah untuk menjadi pembandingnya, termasuk agama Kristen yang aku anut dahulu.

***
Wallahua’lam bish shawwab

Sumber: http://kisahmuslim.com/
http://www.facebook.com/photo.php?
fbid=257903547571823&set=a.257901860905325.77423.158670224161823&type=1&ref=nf

Baca juga:
Izinkan Aku Memilih Islam
Dari Facebook-nya Sandrina Malakiano Fatah
Kepada Saudariku, Para Muslimah: Kami Iri Pada Kalian

24.12.08

Dari Facebook-nya Sandrina Malakiano Fatah

Setiap kali sebuah musibah datang, maka sangat boleh jadi di belakangnya sesungguhnya menguntit berkah yang belum kelihatan. Saya sendiri yakin bahwa “sebagaimana Islam mengajarkan“ di balik kebaikan boleh jadi tersembunyi keburukan dan di balik keburukan boleh jadi tersembunyi kebaikan.

Saya sendiri membuktikan itu dalam kaitan dengan keputusan memakai hijab sejak pulang berhaji di awal 2006. Segera setelah keputusan itu saya buat, sesuai dugaan, ujian pertama datang dari tempat saya bekerja, Metro TV.

Sekalipun tanpa dilandasi aturan tertulis, saya tidak diperkenankan untuk siaran karena berjilbab. Pimpinan Metro TV sebetulnya sudah mengijinkan saya siaran dengan jilbab asalkan di luar studio, setelah berbulan-bulan saya memperjuangkan izinnya. Tapi, mereka yg mengelola langsung beragam tayangan di Metro TV menghambat saya di tingkat yg lebih operasional. Akhirnya, setelah enam bulan saya berjuang, bernegosiasi, dan mengajak diskusi panjang sejumlah orang dalam jajaran pimpinan level atas dan tengah di Metro TV, saya merasa pintu memang sudah ditutup.

Sementara itu, sebagai penyiar utama saya mendapatkan gaji yg tinggi. Untuk menghindari fitnah sebagai orang yg makan gaji buta, akhirnya saya memutuskan untuk cuti di luar tanggungan selama proses negosiasi berlangsung. Maka, selama enam bulan saya tak memperoleh penghasilan, tapi dengan status yg tetap terikat pada institusi Metro TV.

Setelah berlama-lama dalam posisi yg tak jelas dan tak melihat ada sinar di ujung lorong yg gelap, akhirnya saya mengundurkan diri. Pengunduran diri ini adalah sebuah keputusan besar yg mesti saya buat. Saya amat mencintai pekerjaan saya sebagai reporter dan presenter berita serta kemudian sebagai anchor di televisi. Saya sudah menggeluti pekerjaan yg amat saya cintai ini sejak di TVRI Denpasar, ANTV, sebagai freelance untuk sejumlah jaringan TV internasional, TVRI Pusat, dan kemudian Metro TV selama 15 tahun, ketika saya kehilangan pekerjaan itu. Maka, ini adalah sebuah musibah besar bagi saya.

Tetapi, dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan memberi saya yg terbaik dan bahwa dunia tak selebar daun Metro TV, saya bergeming dengan keputusan itu. Saya yakin di balik musibah itu, saya akan mendapat berkah dari-Nya.

HIKMAH BERJILBAB
Benar saja. Sekitar satu tahun setelah saya mundur dari Metro TV, ibu saya terkena radang pankreas akut dan mesti dirawat intensif di rumah sakit. Saya tak bisa membayangkan, jika saja saya masih aktif di Metro TV, bagaimana mungkin saya bisa mendampingi Ibu selama 47 hari di rumah sakit hingga Allah memanggilnya pulang pada 28 Mei 2007 itu. Bagaimana mungkin saya bisa menemaninya selama 28 hari di ruang rawat inap biasa, menungguinya di luar ruang operasi besar serta dua hari di ruang ICU, dan kemudian 17 hari di ruang ICCU?

Hikmah lain yg saya sungguh syukuri adalah karena berjilbab saya mendapat kesempatan untuk mempelajari Islam secara lebih baik. Kesempatan ini datang antara lain melalui beragam acara bercorak keagamaan yang saya asuh di beberapa stasiun TV. Metro TV sendiri memberi saya kesempatan sebagai tenaga kontrak untuk menjadi host dalam acara pamer cakap (talkshow) selama bulan Ramadhan.

Karena itulah, saya beroleh kesempatan untuk menjadi teman dialog para profesor di acara Ensiklopedi Al Quran selama Ramadhan tahun lalu, misalnya. Saya pun mendapatkan banyak sekali pelajaran dan pemahaman baru tentang agama dan keberagamaan. Islam tampil makin atraktif, dalam bentuknya yang tak bisa saya bayangkan sebelumnya. Saya bertemu Islam yang hanif, membebaskan, toleran, memanusiakan manusia, mengagungkan ibu dan kaum perempuan, penuh penghargaan terhadap kemajemukan, dan melindungi minoritas.

Saya sama sekali tak merasa bahwa saya sudah ber-islam secara baik dan mendalam. Tidak sama sekali. Berjilbab pun, perlu saya tegaskan, bukanlah sebuah proklamasi tentang kesempurnaan beragama atau tentang kesucian. Berjibab adalah upaya yang amat personal untuk memilih kenyamanan hidup.

Berjilbab adalah sebuah perangkat untuk memperbaiki diri tanpa perlu mempublikasikan segenap kebaikan itu pada orang lain. Berjilbab pada akhirnya adalah sebuah pilihan personal. Saya menghormati pilihan personal orang lain untuk tidak berjilbab atau bahkan untuk berpakaian seminim yang ia mau atas nama kenyamanan personal mereka. Tapi, karena sebab itu, wajar saja jika saya menuntut penghormatan serupa dari siapapun atas pilihan saya menggunakan jilbab.

Hikmah lainnya adalah saya menjadi tahu bahwa fundamentalisme bisa tumbuh di mana saja. Ia bisa tumbuh kuat di kalangan yang disebut puritan. Ia juga ternyata bisa berkembang di kalangan yang mengaku dirinya liberal dalam berislam.

Tak lama setelah berjilbab, di tengah proses bernegosiasi dengan Metro TV, saya menemani suami untuk bertemu dengan Profesor William Liddle “seseorang yang senantiasa kami perlakukan penuh hormat sebagai sahabat, mentor, bahkan kadang-kadang orang tua“ di sebuah lembaga nirlaba. Di sana kami juga bertemu dengan sejumlah teman, yang dikenali publik sebagai tokoh-tokoh liberal dalam berislam.

Saya terkejut mendengar komentar-komentar mereka tentang keputusan saya berjilbab. Dengan nada sedikit melecehkan, mereka memberikan sejumlah komentar buruk, sambil seolah-olah membenarkan keputusan Metro TV untuk melarang saya siaran karena berjilbab. Salah satu komentar mereka yang masih lekat dalam ingatan saya adalah, Kamu tersesat. Semoga segera kembali ke jalan yang benar.

Saya sungguh terkejut karena sikap mereka bertentangan secara diametral dengan gagasan-gagasan yang konon mereka perjuangkan, yaitu pembebasan manusia dan penghargaan hak-hak dasar setiap orang di tengah kemajemukan.

Bagaimana mungkin mereka tak faham bahwa berjilbab adalah hak yang dimiliki oleh setiap perempuan yang memutuskan memakainya? Bagaimana mereka tak mengerti bahwa jika sebuah stasiun TV membolehkan perempuan berpakaian minim untuk tampil atas alasan hak asasi, mereka juga semestinya membolehkan seorang perempuan berjilbab untuk memperoleh hak setara? Bagaimana mungkin mereka memiliki pikiran bahwa dengan kepala yang ditutupi jilbab maka kecerdasan seorang perempuan langsung meredup dan otaknya mengkeret mengecil?

Bersama suami, saya kemudian menyimpulkan bahwa fundamentalisme “mungkin dalam bentuknya yang lebih berbahaya“ ternyata bisa bersemayam di kepala orang-orang yang mengaku liberal. ***


Baca juga:
Kata Sandrina Malakiano...
Ketika Hidayah Islam Merengkuh Jiwaku
Izinkan Aku Memilih Islam
Kepada Saudariku, Para Muslimah: Kami Iri Pada Kalian

18.12.08

Dzikir-dzikir (Wirid) setelah Shalat Wajib 5 Waktu

Dzikir-dzikir setelah shalat fardu yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berdasarkan hadits-hadits yang shahih adalah sebagai berikut:

1. Mengucapkan Istighfar 3x
أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ
Artinya: “Saya mohon ampun kepada Allah.”
2. Mengucapkan:
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ

Artinya: “Ya Allah Engkaulah As-Salam (Dzat yang selamat dari segala kekurangan) dan dari-Mu (diharapkan) keselamatan, Maha Suci Engkau Dzat Yang mempunyai Keagungan dan Kemuliaan.” (HR Muslim)
3. Mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهْوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ ، وَلاَ مُعْطِىَ لِمَا مَنَعْتَ ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah tidak ada yang mampu mencegah terhadap apa yang Engkau berikan, dan ada yang mampu memberi terhadap apa telah Engkau mencegahnya, serta tidak bermanfaat disisi-Mu kekayaan orang yang kaya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
4. Mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, Dia Maha kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan kekuatan Allah, Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah dan kami tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Milik-Nya segala nikmat, keutamaan dan pujian yang baik. Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah dengan memurnikan agama hanya untuk-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (HR Muslim)
5. Mengucapkan Tasbih 33x, Tahmid 33x dan Takbir 33x
سُبحان الله
Artinya: (Maha Suci Allah),

الحمد لله
Artinya: (Segala puji hanya milik Allah),

الله أكبر
Artinya: (Allah Maha Besar),

dan digenapkan menjadi 100 dengan mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Tentang keutamaannya:
Barangsiapa  bertasbih  (mengucapkan سُبحان الله ) sebanyak 33x, bertahmid (mengucapkan الحمد لله ) sebanyak 33x, dan bertakbir (mengucapkan الله أكبر ) sebanyak 33x, itu semua berjumlah 99, kemudian sempurnanya 100 dengan mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

(Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu), niscaya akan diampuni dosa-dosanya, walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR Muslim)
  • Catatan: Cara menghitung Tasbih, Tahmid dan Takbir yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah dengan jari-jemari. Sebagaimana telah dijelaskan oleh shahabat Yasiirah a. (Lihat Sunan Abu Daud no. 1501 dan Sunan At-Tirmidzi no. 3486) 

6. Mengucapkan 10x (Setelah shalat Maghrib dan Shubuh)
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, (Dialah Dzat) Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (HR At-Tirmidzi dan An-Nasa’i)
Tentang keutamaannya:
Barangsiapa yang mengucapkan usai shalat Shubuh dalam keadaan melipat kedua kakinya sebelum berbicara,

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

10 kali, maka dituliskan baginya 10 kebajikan, dihapus darinya 10 keburukan, dan diangkat baginya 10 derajat,serta harinya itu berada dalam lindungan dari semua yang tidak disenangi dan dijaga dari setan, juga dosa tidak akan mencapai (timbangan)nya pada hari itu selain dosa menyekutukan Allah (berbuat kesyirikan -red).” (HR At-Tirmidzi no. 3474 dan Ahmad no. 16583/16699)

7. Membaca Ayat Kursi
Artinya: “Allah, tidak ada ilah (sesembahan yang haq (benar) diibadahi) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? (Allah) mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS Al-Baqarah 255)
Tentang keutamaannya:
Barangsiapa membaca Ayat Kursi setiap selesai menunaikan shalat lima waktu, maka tidaklah ada yang menghalanginya untuk masuk ke dalam Al-Jannah (Surga) kecuali kematian.” (HR An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra no. 9928)

8. Membaca surat Al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Naas
(Tiga surat ini dibaca masing-masing 3x setelah shalat Maghrib dan Shubuh dan dibaca masing-masing 1x setelah shalat Zhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya`)
Artinya: “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS Al-Ikhlash 1-4)

Artinya: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai subuh. Dari kejahatan makhluk-Nya. Dan dari kejahatan malam apabila Telah gelap gulita.Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” (QS Al-Falaq 1-5)

Artinya: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Ilah (sesembahan) manusia. Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.” (QS An-Naas 1-6)
Tentang keutamaannya:
Tiga surat tersebut cukup bagimu (sebagai permohonan perlindungan) dari segala kejelekan.” (Lihat Sunan Abu Daud no. 5094)

Wallahu a’lam bisshowab.
http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1841

17.12.08

Ringan tapi Berbobot

Bacaan Sesudah Shalat Lima Waktu

Di antara manfaat sholat lima waktu setiap hari ialah dihapuskannya dosa-dosa oleh Allah ta’aala. Subhaanallah..! Bayangkan, setiap seorang muslim selesai mengerjakan sholat yang lima waktu berarti ia baru saja membersihkan dirinya dari tumpukan dosa yang sadar tidak sadar telah dikerjakannya antara sholat yang baru ia kerjakan dengan sholat terakhir yang ia ia kerjakan sebelumnya.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Sholat lima waktu dan (sholat) Jum’at ke (sholat) Jum’at serta dari Ramadhan ke Ramadhan semua itu menjadi penghabus (dosanya) antara keduanya selama ia tidak terlibat dosa besar.” (HR Muslim 2/23)

Bila seorang muslim memahami dan meyakini kebenaran hadits di atas, niscaya ia tidak akan membiarkan satu kalipun sholat lima waktunya terlewatkan. Bahkan dalam hadits yang lain dikatakan bahwa bila seorang muslim khusyu dalam sholatnya, maka ia akan diampuni segenap dosanya di masa lalu. Subhaanallah..!

“Tidak seorangpun yang bilamana tiba waktu sholat fardhu lalu ia membaguskan wudhunya, khusyu’nya, rukuknya, melainkan sholatnya menjadi penebus dosa-dosanya yang telah lampau, selagi ia tidak mengerjakan dosa yang besar. Dan yang demikian itu berlaku untuk seterusnya.” (HR Muslim 2/13)

Setiap hari manusia senantiasa melakukan dosa, baik sengaja maupun tidak. Maka seorang mu’min yang sadar pasti akan menempuh segenap upaya yang bisa mendatangkan ampunan Allah ta’aala dan dapat menghapuskan kesalahan-kesalahannya. Sehingga Allah ta’aala menggambarkan ciri orang bertaqwa sebagai orang yang bersegera menggapai ampunan Allah ta’aala.

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran ayat 133)

Seorang yang beriman dan bertaqwa sangat tamak akan ampunan Allah ta’aala sebab ia tahu benar bahwa jika ia wafat dalam keadaan telah diampuni segenap dosanya berarti ia akan mengalami ketenteraman dalam hidup di alam kubur dan di akhiratnya. Demikianlah Nabiyullah Ibrahim ’alihis-salaam tatkala bermunajat di hadapan Allah ta’aala:

”...dan (Dialah Tuhan) Yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat". (QS Asy-Syuara ayat 8)

Maka untuk menyempurnakan datangnya ampunan Allah ta’aala dan dihapuskannya segenap kesalahan, seorang mu’min menutup sholat lima waktunya dengan membaca wirid yang diajarkan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Suatu bentuk wirid yang Nabi shollallahu ’alaih wa sallam jamin akan menyebabkan semua kesalahan seseorang bakal dihapus Allah ta’aala walaupun sebanyak lautan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu ia berkata bahwa Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Barangsiapa bertasbih (membaca SubhanAllah) 33 kali sesudah setiap sholat lalu bertahmid (membaca Alhamdulillah) 33 kali lalu bertakbir 33 (membaca Allah Akbar) kali maka itulah sembilanpuluh sembilan. Lalu ia menyempurnakan menjadi seratus dengan:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Tidak ada ilah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segenap kerajaan dan miliknya segenap puji-pujian, dan Dia atas segala sesuatu Maha Berkuasa, maka dihapuskan segenap kesalahannya walaupun sebanyak lautan.” (HR Muslim 939)

Oleh Ihsan Tandjung
http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/


Baca juga: Dzikir-dzikir (wirid) setelah Shalat wajib yang sesuai dengan Sunnah